Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Warga Kirab Pusaka Puputan Bayu

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SONGGON- Napak tilas perang Puputan Bayu yang digelar dalam rangka memperingati Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) yang ke-245 di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, berlangsung semarak kemarin pagi (11/12). Dalam napak tilas itu, sejumlah pusaka yang dibuat dalam perang Puputan Bayu melawan penjajah Belanda, oleh warga diarak keliling kampung.

Selain  itu, tumpeng raksasa berisi hasil bumi  juga dikirab mulai dari pasar Desa Bayu hingga wana wisata Rowo Bayu yang berjarak sekitar tiga kilometer. Pj. Kepala Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Hadi Wijoyo, 54, mengatakan kirab  pusaka perang Puputan Bayu itu untuk yang kali kedua dilaksanakan.

“Itu bagian untuk melestarikan pusaka warisan leluhur yang ada di Desa Bayu,” katanya. Ratusan pusaka itu, oleh warga dikirab menuju petilasan Prabu Tawang Alun yang berada di wana wisata Rowo Bayu. Sesampai di petilasan, pusaka peninggalan leluhur seperti keris dan tombak oleh sesepuh desa dimandikan air bunga. Selanjutnya, kembali dimasukkan dalam  peti senjata dan disimpan lagi.

“Pusaka yang dikirab itu milik warga secara turun temurun, dan diyakini pernah digunakan untuk perang Puputan Bayu,” cetusnya. Dalam napak tilas itu, terang dia, para peserta juga dihibur drama kolosal tentang  perang Puputan Bayu yang diperankan  oleh para pemuda Desa Bayu.

“Kami ingin peserta napak tilas bisa lebih memaknai perang Puputan Bayu dan bisa menumbuhkan rasa nasionalisme,” katanya.  Dalam drama kolosal perang Puputan  Bayu itu, dikisahkan rakyat  lambangan yang tidak rela tanahnya diinjak-injak  oleh penjajah, berusaha mempertahankan sekuat tenaga dengan bekal pedang,  tombak, dan keris.

Dengan dipimpin Rempeg Jogopati dan Sayu Wiwit, para pejuang menunjukkan kegigihannya dalam menumpas penjajah VOC Belanda. “Drama kolosal ini juga bagian untuk mengingat dan merenung akan sejarah perang Puputan Bayu yang terjadi pada tahun 1771-1772 pada para generasi saat ini,” jelasnya.

Hanya saja, warga mempertanyakan kegiatan renungan suci dan napak tilas perang Puputan Bayu yang dilaksanakan lebih awal. Biasanya, kegiatan malam  renungan suci itu dilaksanakan pada  malam 18 Desember, baru esok paginya  dilaksanakan napak tilas perang Puputan  Bayu.

“Mestinya tanggal pelaksanaan itu jangan dirubah-rubah,” ujar salah satu  tokoh pemuda Desa Bayu, Ilham Mursidi. Dengan berubahnya jadwal malam renungan suci dan napak tilas, sebut dia, menjadikan Harjaba kurang bermakna. “Peringatannya ada, tapi ruhnya tidak ada. Sama halnya merubah malam renungan di malam 17 Agustus dan upacara bendera diajukan, maknanya kurangkan,” tandasnya.

Ilham berharap Pemkab Banyuwangi bisa konsisten melaksanakan kegiatan malam renungan suci dan napak tilas perang Puputan Bayu itu, yakni tepat  pada malam tanggal 17 Desember dan napak tilas dilaksanakan pada 18 Desember.

“Penetapan tanggal 18 Desember itu bukan sembarangan, karena sudah pakem jadi mohon jangan diubah-ubah,”harapnya. (radar)