Terlalu Banyak Kosakata Asing yang Diserap dalam Kamus
BANYUWANGI – Hari ini genap 88 tahun Sumpah Pemuda. Saat itu putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Yang kedua, putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Poin sumpah yang ketiga, putra dan putri Indonesia berjanji menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Artinya, sejak 28 Oktober 1928 itu bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa resmi negeri ini. Kini, setelah 88 tahun, apa yang terjadi dengan bahasa Indonesia? Masihkan bahasa Indonesia dijunjung tinggi, terutama oleh kalangan pemuda saat ini? Inilah yang menjadi bahasan diskusi pemerhati bahasa Indonesia di Banyuwangi.
Forum 28 Oktober yang merupakan forum diskusi bahasa di Banyuwangi menyebutkan, saat ini warga lebih tertarik belajar dan menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia.Ketua Forum 28 Oktober, Iroe Sukartono Mahdi, mengatakan penggunaan bahasa Indonesia di Banyuwangi, dalam pantauannya, dirasa kurang membahagiakan. Dari waktu ke waktu minat belajar berbahasa Indonesia oleh warga Banyuwangi juga semakin menurun tergerus oleh pembelajaran bahasa asing yang mulai tinggi.
”Bahasa Indonesia saat ini dianggap rendah di bawah bahasa asing. Bahasa Indonesia dianggap tidak prestise oleh masyarakat,” kata lelaki yang berprofesi sebagai guru di SMAN 1 Glagah itu. Fenomena itu membuat Forum 28 Oktober merasa perlu melakukan sesuatu.
Perlu langkah nyata agar masyarakat lebih mencintai bahasa Indonesia yang telah dirumuskan menjadi bahasa pemersatu oleh para pejuang. Nah, metode pembelajaran bahasa di sekolah yang sangat perlu dibenahi agar bahasa Indonesia lebih dicintai masyarakat.
”Saat ini yang diajarkan adalah yang benar saja, baru yang baik. Seharusnya agar lebih menarik, metode pembelajaran bahasa Indonesia itu harus yang baik dulu, baru yang benar. Tujuannya, agar anak-anak tidak merasa takut salah dalam menggunakan bahasa Indonesia,” kata Iroe.
Sementara itu, anggota Forum 28 Oktober, MH. Qowim, menambahkan, bahasa Indonesia menyerap kata-kata dari bahasa asing setiap tahun. Jumlah kata asing yang diserap bahasa Indonesia lumayan banyak setiap tahun. Padahal, kata-kata asing itu ada kalanya ada padanan katanya dalam bahasa daerah.
Bahkan, terkadang dalam bahasa Indonesia sudah ada padanan katanya, tapi tetap dipaksa dimasukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Akibatnya, kata-kata asli bahasa Indonesia kian lama semakin jarang digunakan masyarakat karena kalah familiar dengan kata-kata serapan asing yang lebih sering digunakan media. Parahnya lagi, jarang disa dari, pada tiap edisi ada kosakata bahasa Indonesia yang dihilangkan dari KBBI.
‘’Kalau terus begini, lama-lama kosa kata asli bahasa Indonesia itu akan tergerus dan kian tersisih. Dan pada giliranya nanti bukan mustahil kosakata asli bahasa Indonesia akan hilang dari KBBI. Boleh dikatakan bahasa Indonesia terancam punah beberapa puluh tahun mendatang; maksudnya bahasanya ada, tapi isinya bahasa asing semua,” tutur salah satu anggota tim pengumpul kosakata KBBI edisi V tersebut.
Terkait hal itu, saat dikonfirmasi, Puspa Ruriana dari Balai Bahasa Jawa Timur tidak menampik. Menurutnya, sekarang sedang diren canakan tidak semua kosa-kata dalam bahasa Indonesia dimasukkan dalam kamus. Sebab, setiap tahun kosakata bahasa Indonesia selalu bertambah. Kalau semua dimasukkan dalam kamus, maka semakin lama KBBI akan semakin tebal. Akibatnya, semakin sulit dicetak, sulit dibawa, dan sulit dibaca.
“Tetapi, hal itu saat ini masih tahap rencana. Nanti model kamusnya bagaimana belum jelas,” kata ahli perkamusan tersebut. Puspa menambahkan, terkait informasi adanya beberapa kata yang lenyap dari KBBI juga benar adanya. Hal itu memang jarang disadari. Tetapi, jika dicermati dan diamati secara teliti, maka akan ditemukan kosakata yang dalam edisi sebelumnya tidak muncul pada edisi yang terbaru.
Dirinya sendiri sebagai leksikograf (ahli perkamusan) baru menyadari itu setelah ada seorang teman yang menanyakan tentang ko sakata yang lenyap dari dalam kamus itu. “Terkait hal itu saya belum bisa menjawab. Kemungkinan dilakukan perbaikan dan penyesuaian, misalnya penyesuaian ejaan dan perbaikan definisi,” tututrnya.
Yang jelas, katanya, saat ini sedang ada upaya menambah kosakata sebanyak-banyaknya dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang belum ada konsepnya. Termasuk dari bahasa Oseng. Anggota tim pengumpul kosakata dari bahasa Oseng adalah MH. Qowim.
Sementara itu, tidak hanya bahasa Indonesia yang dikritisi Forum 28 Oktober, bahasa Oseng tidak luput dari lensa kritikan. Forum 28 Oktober, melalui ketuanya, mengaku akan terus mendukung penelitian-penelitian yang dilakukan agar tata baahsa Oseng bisa segera dikodekan dan dikaidahkan dengan baik.
”Kita harus melakukan penelitian ke pelosok-pelosok karena bahasa Oseng di pelosok masih asli. Awalnya kita harus menyusun tata bahasa, kemudian pedoman ejaan, baru kemudian penyusunan kamus. Jangan dibalik,” jelas Iroe. Perbincangan yang diikuti lima anggota tersebut terlihat sangat gayeng, karena semua merupakan akademisi bahasa Indonesia.
Mereka yang hadir adalah Nurul Ludfia Rochmah (pengajar MAN Banyuwangi), Muttafaqur Rohmah (Dosen bahasa Indonesia Untag Banyuwangi), Ida Ernawati (pengajar SMALBN Banyuwangi), Iwan Rohmatuddin (pengajar MAU Singojuruh), dan MH. Qowim (editor bahasa Jawa Pos Radar Banyuwangi). Mereka berharap bahasa Indonesia dan bahasa Oseng lebih dicintai dibandingkan bahasa asing.
”Kita harus loyal kepada bahasa Indonesia agar tidak terkubur oleh perkembangan zaman,” pungkasnya. Mut- tafaqur Rohmah menambahkan, ke depan, Forum 28 Ok tober akan rutin menggelar pertemuan dan menggelar acara-acara kebahasaan. Itu agar atmosfer kebahasaan dan sesusastraan di Banywuangi menghangat.(radar)