BANYUWANGI – Maraknya pencurian janur di Banyuwangi membuat banyak pihak merasa “gerah”. Bukan hanya para petani atau pekebun kelapa, fenomena itu juga sangat disayangkan kalangan legislatif dan eksekutif di kabupaten berjuluk The Sunrise of Java ini.
Untuk itu, kalangan wakil rakyat bersama tim eksekutif menggodok revisi peraturan daerah (perda) untuk menguatkan upaya perlindungan tanaman kelapa di Bumi Blambangan. Salah satu poin penting revisi perda tersebut adalah pembentukan tim pengawas tanaman kelapa mulai tingkat desa hingga kabupaten.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda Perlindungan Tanaman Kelapa DPRD Banyuwangi, Siti Mafrochatin Ni’mah mengatakan, pansus bersama tim eksekutif sepakat tentang klausul pembentukan tim pengawas tanaman kelapa mulai tingkat desa hingga kabupaten.
“Tim ini terdiri dari kepala desa, kecamatan, dan unsur pemkab, seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Pertanian. Juga melibatkan instansi lain, seperti pihak kepolisian,” ujarnya usai memimpin rapat pansus bersama tim eksekutif di kantor DPRD Banyuwangi kemarin (22/8).
Ni’mah menuturkan, pembentukan tim pengawas tanaman kelapa sangat mendesak dilakukan mengingat maraknya pen- curian janur di Banyuwangi sejak beberapa tahun terakhir. “Tugas tim ini mengawasi tanaman kelapa, termasuk dari pencurian janur,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Bukan itu saja, dalam raperda ini juga dicantumkan ketentuan penjualan janur harus disertai tanda tangan pihak pemilik tanaman kelapa. Perdagangan janur, terutama penjualan ke luar daerah, juga perlu mendapat rekomendasi dari kepala desa.
“Penjualan janur tidak dilarang. Janur boleh tetap dijual ke luar daerah, namun perlu rekomendasi. Raperda ini fokus untuk melindungi tanaman kelapa, bukan melarang penjualan janur,” akunya.
Ni’mah menambahkan, pansus dan tim eksekutif juga telah telah menemui kata sepakat soal sanksi bagi para pelanggar perda, termasuk sanksi bagi pihak-pihak yang kedapatan mencuri janur. Sanksi kepada pelanggar perda ini be- rupa kurungan enam bulan atau denda Rp 50 juta.
Sebelumnya, sempat ada wacana menerapkan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 tahun 2014 tentang kehutanan, misalnya setiap orang dilarang melakukan penebangan tanaman di kawasan perkebunan dan memanen atau memungut hasil perkebunan secara tidak sah. Sanksinya berupa penjara maksimal empat tahun atau denda Rp 4 miliar.
“Namun pertimbangan teman-teman pansus, sanksi yang diterapkan jangan sampai terlalu memberatkan,” kata Ni’mah. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satpol PP Banyuwangi, Edy Supriyono, menyambut baik pembahasan raperda tentang perubahan perda perlindungan tanaman kelapa tersebut. Dia juga mengaku siap dilibatkan dalam tim pengawas tanaman kelapa.
“Kami bersama tim instansi terkait lain siap melakukan pengawasan,” ujarnya. Edy menambahkan, setelah revisi perda ini disahkan, pihaknya siap menegakkan produk hukum tertinggi daerah tersebut, termasuk penindak para pelanggar perda.
“Kami siap melakukan penindakan. Kami juga siap bekerja sama dengan instansi lain, seperti kepolisian,” pungkasnya. Seperti diketahui, Banyuwangi sebenarnya telah memiliki perda tentang perlindungan tanaman kelapa, yakni Perda Nomor 8 Tahun 1973 dan terakhir diperbaruai dengan Perda Nomor 5 Tahun 1996.
Namun sayang, perda tersebut kini sudah tak lagi “bertaring”. Sebab, sanksi bagi para pelanggar perda sudah tidak relevan. Betapa tidak para pelanggar perda hanya dikenai sanksi kurungan maksimal selama tiga bulan atau denda sebesar Rp 50 ribu.
Sanksi yang terlalu ringan, itu diindikasi menjadi salah satu faktor penyebab maraknya pencurian janur di Banyuwangi. Karena itu, anggota DPRD lantas mengajukan raperda inisiatif tentang perubahan perda perlindungan tanaman kelapa tersebut. (radar)