Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Hukum  

Kades Keluhkan Pencurian Janur

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Ilustrasi

Merasa Kesal, Imbauan Tidak Digubris Warga

LICIN – Maraknya pencurian janur benar-benar menjadi perhatian para kepala desa (kades). Kemarin (21/8) para kades se-Kecamatan Licin mengadukan maraknya pencurian janur tersebut kepada Camat Taufik Rohman.

Kades mengaku kewalahan karena teguran kepada warga agar tidak mengambil janur tidak digubris. Pertemuan yang berlangsung di kantor camat Licin itu menjadi ajang curhat para kades.

Mereka juga mendesak kepada Camat Licin agar menindak tegas para pencuri janur. Kurangnya kesadaran masyarakat mémbuat para pencuri janur terus merambah ke pelosok- pelosok desa.

“Saya sudah kesal kepada para pencuri janur. Saya sendiri sudah sering memberikan imbauan kepada mereka, tetapi tidak dlgubris,” keluh Taufik, Kades Banjar di depan pejabat Forpimka yang hadir di kantor Kecamatan Licin kemarin.

Bukan hanya petani di Desa Banjar yang mengeluhkan maraknya pencurian janur. Keluhan serupa juga dirasakan warga Desa Pakel, Desa Segubang, Desa Tamansari, dan Desa Licin. “Kita ke sini untuk menindaklanjuti maraknya pencurian janur. Kedatangan kami ke kecamatan untuk mengadukan maraknya pencurian janur,” kata Taufik.

Din menambahkan, para petani sudah seringkali melaporkan masalah ini ke kades. Hanya saja, kades tidak bisa serta-merta menindak tegas karena tidak berhak menangkap maupun menindaklanjuti para pencuri janur.

“Seharusnya ada tindakan tegas dari kepolisian atau pihak terkait agar ada efek jera bagi pencuri janur,” tegasnya. Sementara itu, Camat Licin Taufik Rohman me ngungkapkan,   Perda yang mengtur soal janur, sanksinya terlalu ringan.

Anehnya, para pemilik pohon kepala tidak tahu jika janurnya diambil orang lain. Mereka baru tahu setelah tiga bulan kemudian. “Kita sudah mengimbau terus-menerus kepada masyarakat. Sayangnya, imbauan tidak ditaati. Mereka tetap saja menggantungkan hidupnya dengan berjualan janur,” ujar Taufik.

Selain itu, masyarakat kurang bisa menjaga kelestarian alam, yaitu pohon kelapa. Mereka hanya memikirkan penghasilan, tetapi tidak memikirkan akibat pengambilan janur yang secara terus-menerus.

“Saya sengaja mengundang pihak-pihak terkait dengan masalah ini, karena semua pihak harus terlibat di dalamnya untuk menyadarkan masyarakat,” bebernya. Kapolsek Licin AKP Jupriyadi mengatakan, langkah keamanan sudah dilakukan di sektor-sektor yang rawan untuk pencurian janur.

Tetapi, jika pencuri masuk ke dalam perkebunan atau persawahan itu sudah menjadi tanggungjawab pemilik. “Kita pihak kepolisian tidak mempunyai wewenang untuk tiba-tiba menangkap, prosedurnya jika ada yang laporan baru kita akan memprosesnya,” tegas Jupriyadi.

Diberitakan sebelumnya, populasi kelapa di Banyuwangi di ambang kehancuran. Memang, dari sisi luas lahan, area tanaman kelapa di Bumi Blambangan tidak mengalami penurunan berarti dalam kurun beberapa tahun terakhir.

Namun, pada Periode yang sama jumlah produksi buah kelapa Bumi Blambangan terjun bebas. Data Dinas Pertanian Banyuwangi menyebutkan, luas area tanaman kelapa, khususnya tanaman yang dibudidaya untuk produksi buah kelapa dan atau kopra pada tahun 2011 mencapai 23.550 Hektare (Ha) dan tersebar di seantero Bumi Blambangan.

Sedangkan jumlah produksi buah kelapa di tahun tersebut tembus hingga 128.517 ton. Selang lima tahun kemudian, tepatnya pada 2016 luas area tanaman kelapa di kabupaten berjuluk The Sunrise of Java ini turun tipis, yakni sebesar 349 Ha atau setara 1,48 persen sehingga menjadi 23.201 Ha.

Berbeda dengan luas area tanaman kelapa yang mengalami sedikit penurunan, jumlah produksi buah kelapa di kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini merosot tajam hingga sebesar 100.759 ton (78,62 persen) menjadi “hanya” sebesar 27.398 ton.

Maraknya komersialisasi janur asal Banyuwangi sudah terjadi sejak sekitar 12 tahun terakhir. Padahal, Banyuwangi sebenarnya sudah memiliki peraturan daerah (perda) untuk melindungi tanaman kelapa di kabupaten ini, yakni Perda Nomor 8 Tahun 1973 dan terakhir diperbarui dengan Perda Nomor 5 Tahun 1996.

Namun sayang, perda tersebut kini sudah tak lagi “bertaring”. Sebab, sanksi bagi para pelanggar perda sudah tidak relevan. Betapa tidak para pelanggar perdananya dikenai sanksi kurungan maksimal selama tiga bulan atau denda sebesar Rp 50 ribu.

Saat ini DPRD bersama eksekutif mulai membahas pembahan perda tersebut. Harapannya, perda yang baru bisa menjadi instrumen penting untuk melindungi tanaman kelapa di Banyuwangi. (radar)