Ritual Balang Apem Khas Desa Kebondalem
SORE itu, ribuan warga dari berbagai daerah di Banyuwangi, berkerumun di sepanjang aliran sungai Pekalen Sampean, Dusun Tanjungrejo, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo. Mereka berjajar rapi di pinggir sungai. Di sepanjang aliran sungai itu terlihat belasan perahu hias dan replika kapal berjajar mengapung di tepi sungai.
Sejumlah warga, juga masih tampak sibuk menghias replika kapal dengan berbagai ornamen, termasuk melengkapinya dengan sound system. Belasan perahu hias dan replika kapal itu merupakan tradisi warga Dusun Tanjungrejo, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo.
Setiap dua tahun, mereka menggelar ritual itu yang juga digelar untuk HUT Kemerdekaan RI. Oleh warga setempat, perahu hias dan replika kapal itu biasa disebut dengan Festival Arung Kanal. Sejumlah pengun jung yang datang untuk menyaksikan deretan perahu dan kapal foto bersama keluarga.
Lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan yang ada di tepi sungai Pekalen Sampean itu juga sudah dialihkan, khususnya kendaraan roda empat. Untuk bisa masuk melihat dan mengikuti tradisi balang apem tersebut, warga harus membayar tiket masuk sebesar Rp10 ribu per orang.
Jika arus lalu lintas tidak disterilkan di sepanjang jalan raya tersebut, dipastikan macet karena banyak nya warga yang berdatangan. Yang paling ditunggu dan menjadi pusat perhatian pengunjung, adalah ritual balang apem. Tradisi balang apem itu sudah ada sejak tahun 1967 silam.
Kegiatan itu merupakan pesta rakyat sebagai ucapan dan wujud syukur pada Allah dari masyarakat setempat, karena telah mendapatkan limpahan nikmat berupa aliran air yang melimpah. Aliran sungai yang biasa disebut Pekalen Sampean itu, mampu memberi penghidupan warga Desa Kebondalem yang sebagian besar petani.
“Kami bersyukur hasil pertanian kami melimpah, dan kini kawasan Desa Kebondalem dijadikan sentra penghasil buah naga dan jeruk di Banyuwangi,” ujar Nanang Lesmana, 48, salah satu tokoh masyarakat Desa Kebondalem. Ritual balang apem kali pertama diprakarsai oleh sesepuh adat setempat, Mbah Tukiran, 76, yang hingga kini tetap dituakan oleh masyarakat Dusun Tanjungrejo, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo.
Apem yang dibuat dari campuran tepung dan santan kelapa, dimasak oleh warga satu rukun warga (RW). Jumlah apem tersebut mencapai 3.000 buah. Usai dimasak, apem itu dimasukkan dalam plastik dan dibawa ke tempat pelaksanaan acara.
Sebelum dibalang, ribuan apem dalam wadah itu diletakkan di atas pentas bersama nasi tumpeng untuk di doakan. Upacara selamatan atau kenduri digelar di atas pentas yang ada di tepi aliran sungai, dan dipimpin oleh sesepuh desa setempat.
Sebanyak 25 gadis desa yang sudah berdandan dengan mengenakan kebaya, berjajar di atas pentas dengan posisi siap membawa apem ke atas perahu karet dan melemparkan ke arah pengunjung. “Anak gadis sengaja kita pilih yang cantik dan masih perawan. Mereka kita dandani kebaya ala jebeng Banyuwangi untuk menarik para jejaka,” jelas Nanang.
Setelah selesai doa, ribuan apem langsung dibawa oleh para gadis ke atas perahu karet. Secara bergantian, para gadis melemparkan ribuan apem ke arah penonton yang sudah berjajar di sepanjang aliran sungai. “Yang bisa menangkap dan mendapatkan apem kemudian dimakan, akan mendapat berkah,” ujar Tukiran, sesepuh desa setempat.
Berkah yang didapat itu bermacam-macam. Untuk para pedagang bisa diberikan kelancaran rezeki dan dagangannya laris, sementara bagi yang jejaka dipercaya akan segera mendapatkan jodoh. “Yang paling banyak adalah para perjaka, karena dipercaya bisa dapat jodoh, “ imbuhnya.
Salah seorang pengunjung, Siswanto, 21, asal Desa Kedungringin, Kecamatan Muncar, mengaku sengaja datang karena penasaran dengan ritual balang apem tersebut. Apalagi, ada ungkapan yang berhasil menangkap dan mendapatkan apem akan ketiban berkah dan dimudahkan jodoh.
“Saya baru kali ini datang, ternyata seru juga berebut apem,” ujarnya.(radar)