Banyuwangi, Jurnalnews.com – Memperingati usia ke-5, Lentera Sastra Banyuwangi menggelar acara spesial berupa bedah buku bertajuk “Hebat Bersama Umat” di hall room Hotel Tanjung Asri, Selasa (17/12/2024).
Acara ini menghadirkan empat narasumber berkompeten dalam dunia literasi, seni, dan kebudayaan, yaitu Chaironi Hidayat (Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi), Drs. Zen Kostolani, M.Si (Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi), Samsudin Adlawi (Direktur Radar Banyuwangi), serta Syafaat, S.H., M.H.I. (Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi).
Dipandu oleh moderator Dr. Nur Anim Jauhariyah, dosen UIMSYA, acara ini berlangsung khidmat dan penuh antusiasme dari para peserta, yang terdiri dari sastrawan, akademisi, mahasiswa, serta berbagai kalangan pecinta sastra dari Banyuwangi. Bedah buku ini tidak hanya bertujuan untuk memperkenalkan karya “Hebat Bersama Umat”, tetapi juga mengangkat peran literasi dalam membangun peradaban yang lebih baik.
Sebagai narasumber pertama, Chaironi Hidayat membuka acara dengan pemaparan mendalam tentang pentingnya literasi dalam sebuah peradaban.
“Semakin tinggi literasi, semakin tinggi pula tingkat peradaban suatu bangsa,” ujar Chaironi di hadapan para peserta. Ia mencontohkan bagaimana Makkah, sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam, memiliki tingkat literasi yang tinggi di masa lalu, yang ditandai dengan kegiatan-kegiatan sastra seperti lomba puisi dan syair.
Namun, Chaironi juga menyampaikan refleksi kritis tentang paradoks peradaban saat ini.
“Di satu sisi, literasi tumbuh subur dan melahirkan karya-karya besar. Tetapi di sisi lain, kita masih melihat adanya peradaban yang kurang mencerminkan kemajuan berpikir,” tambahnya.
Chaironi menegaskan bahwa sastra memiliki keunikan tersendiri dalam bahasa.
“Satu-satunya aturan tata bahasa yang boleh bertentangan dengan tata bahasa adalah sastra,” ujarnya, disambut tepuk tangan hadirin. Menurutnya, kebebasan dalam berkarya sastra memungkinkan manusia untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang dalam dan luas tanpa dibatasi oleh kaidah yang kaku.
Drs. Zen Kostolani, M.Si., Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi, menjadi narasumber kedua yang membahas tantangan dalam menulis karya sastra, khususnya puisi.
“Menulis puisi kadang terasa sulit, karena puisi bukan sekadar rangkaian kata indah. Namun, melalui puisi, kita bisa menyampaikan perasaan, pemikiran, bahkan kritik sosial dengan cara yang artistik,” ungkap Zen.
Zen melanjutkan dengan informasi bahwa Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi terus berupaya mendukung para penulis lokal. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah memfasilitasi pengurusan ISBN untuk buku-buku yang ditulis oleh penulis dari Banyuwangi.
“Kami menyadari betapa pentingnya ISBN sebagai identitas sebuah buku. Ini adalah upaya kami untuk mendorong penulis lokal agar karyanya bisa lebih dikenal luas,” tegas Zen.
Pernyataan Zen mendapat apresiasi dari peserta, terutama para penulis pemula yang hadir. Dukungan seperti ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas para sastrawan Banyuwangi.
Samsudin Adlawi, Direktur Radar Banyuwangi, hadir sebagai narasumber ketiga dengan membahas secara spesifik isi buku “Hebat Bersama Umat”. Salah satu karya yang menarik perhatian Samsudin adalah puisi berjudul “Meng-IT-kan Hidup” karya Chaironi Hidayat. Menurut Samsudin, puisi ini memiliki daya tarik tersendiri karena menggabungkan unsur teknologi dan nilai-nilai kehidupan sehari-hari.
“Puisi tidak perlu mencari kata indah. Pada akhirnya, puisi akan indah dengan sendirinya jika ia mampu menyentuh sisi emosional dan intelektual pembaca,” ujar Samsudin. Pernyataannya memberikan pemahaman baru bagi peserta tentang esensi menulis puisi: bukan pada kata-kata yang mewah, melainkan pada kejujuran dan kedalaman makna.
Samsudin juga memberikan apresiasi kepada Lentera Sastra Banyuwangi yang telah menginisiasi penyusunan buku ini. Menurutnya, karya-karya dalam buku “Hebat Bersama Umat” mencerminkan upaya serius untuk menghadirkan tema-tema berat seperti moderasi beragama dalam bentuk puisi yang lebih ringan dan mudah dipahami.
Sebagai narasumber terakhir, Syafaat, S.H., M.H.I., Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi, membagikan proses panjang di balik penyusunan buku “Hebat Bersama Umat”. Ia mengungkapkan bahwa proyek ini melibatkan 79 penulis dari berbagai latar belakang dan membutuhkan waktu hingga satu tahun untuk diselesaikan.
“Tema moderasi beragama ternyata tidak mudah untuk dituangkan dalam bentuk puisi. Moderasi beragama menuntut pemahaman yang mendalam dan sikap bijak dalam menyampaikan pesan,” ungkap Syafaat.
Ia menambahkan bahwa setiap puisi dalam buku ini adalah hasil refleksi mendalam para penulis tentang pentingnya menjaga harmoni dalam kehidupan beragama.
Syafaat juga menyampaikan apresiasinya kepada seluruh pihak yang mendukung terbitnya buku ini.
“Buku ini adalah bukti bahwa sastra mampu menjadi jembatan untuk menyampaikan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan moderasi,” tegasnya.
Antusiasme peserta terlihat jelas dalam sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif. Beberapa peserta mengungkapkan kekagumannya terhadap keberhasilan Lentera Sastra Banyuwangi dalam menyatukan banyak penulis untuk satu karya monumental. Ada juga yang menyampaikan harapannya agar acara seperti ini bisa rutin diadakan sebagai ajang apresiasi bagi penulis lokal.
“Saya merasa terinspirasi dengan pemaparan para narasumber. Menulis puisi memang tidak mudah, tetapi saya yakin kita semua bisa mulai menulis dari hal-hal kecil yang dekat dengan kehidupan,” ujar M. Junaidi, Guru MTsN 11 Banyuwangi.
Setiap peserta mendapatkan buku “Hebat Bersama Umat”. kepada para narasumber serta tamu undangan. Lentera Sastra Banyuwangi berkomitmen untuk terus menghidupkan semangat literasi di Banyuwangi melalui berbagai kegiatan, termasuk penerbitan karya sastra dan penyelenggaraan acara literasi seperti ini.
Bedah buku “Hebat Bersama Umat” bukan sekadar acara seremonial, melainkan sebuah langkah nyata dalam membangun budaya literasi di Kabupaten Banyuwangi. Melalui pemikiran dan karya sastra, nilai-nilai luhur seperti moderasi beragama, kebersamaan, dan toleransi dapat disampaikan dengan cara yang indah dan menginspirasi.
Dalam perjalanannya yang ke-5, Lentera Sastra Banyuwangi telah menunjukkan peran pentingnya sebagai wadah bagi sastrawan dan penulis lokal untuk berkarya dan berkembang. Dengan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan kegiatan semacam ini dapat terus dilaksanakan demi mewujudkan Banyuwangi sebagai kabupaten yang literat dan berbudaya.(Syaf)