Balai Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Sabtu (20/12/2025), berubah menjadi ruang kontemplasi kolektif. Kegiatan Diskusi Buku dan Mimbar Puisi dikomando oleh Rosidatun Munawaroh bersama Karang Taruna Tembokrejo, Selapanan Sastra, Daras Filsafat, dan Komunitas Sastra Timur Jawa. Menurut Siswanto (Ketua Komunitas Sastra Timur Jawa) Kegiatan tersebut untuk mendaras tentang luka-luka ekologis yang kerap diabaikan dalam wacana arus utama.
Dengan tema “Semesta Ingatan dan Trauma Ekologis”, kegiatan ini menegaskan bahwa kerusakan alam tidak hanya meninggalkan jejak fisik, tetapi juga membentuk ingatan sosial dan trauma kolektif.
“Acara ini menjadi ruang dialog antara teks sastra, pengalaman warga, dan refleksi kritis terhadap krisis lingkungan, ” ujar Prof. Akhmad Taufiq.
Mimbar puisi membuka acara dengan nuansa emosional yang kuat. Peserta membacakan puisi dari Antologi Puisi Semesta Ingatan: Trauma dan Imaji Kebebasan, sebuah karya kolektif yang lahir dari perjumpaan para penulis dengan pengalaman trauma, kenangan, dan harapan. Puisi-puisi tersebut merekam bagaimana ingatan bekerja—tumbuh, dipelihara, sekaligus menjadi medan konflik batin dan sosial.
Taufiq Wr Hidayat menekankan bahwa sastra berperan sebagai rumah bagi ingatan yang tersisih. Dalam konteks krisis ekologis, puisi menjadi cara untuk menjaga jejak budaya dan pengalaman yang tidak terakomodasi dalam bahasa teknokratis. Sastra, menurutnya, adalah upaya merawat kemanusiaan di tengah logika eksploitasi.
Pertunjukan teatrikal puisi oleh kelompok TMII memperkuat pesan tersebut. Dengan latar konflik tambang emas Tumpang Pitu, karya Negosiasi di Tujuh Bukit menghadirkan kritik tajam terhadap cara negara dan korporasi memproduksi narasi pembangunan. Alam digambarkan sebagai tubuh yang dilukai, sementara warga menjadi subjek yang terpinggirkan.
Diskusi panel mengurai trauma ekologis sebagai pengalaman yang diwariskan. Lalita Putri menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah cermin krisis moral manusia. Ketika keserakahan mendominasi, alam dan relasi sosial sama-sama mengalami kerusakan. Dalam perspektif ekofeminisme, menyoroti bagaimana perempuan sering menjadi kelompok paling rentan dalam konteks degradasi lingkungan.
Forum ini ditutup dengan refleksi bahwa ingatan bukan sekadar masa lalu, melainkan kompas etik. Merawat ingatan ekologis berarti menolak lupa, menolak normalisasi kerusakan, dan membuka kemungkinan relasi yang lebih adil antara manusia dan semesta. Dari balai desa yang sederhana, sastra kembali menunjukkan perannya sebagai penjaga nurani dan pengingat luka yang belum sembuh.(Miskawi)







