Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Para Pemantau Gunung Berapi Bertaruh Nyawa saat Perbaikan Alat Rusak

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Aktivitas para petugas di Pos Pengamatan Gunung Api Raung, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. (Ramada Kusuma/RadarBanyuwangi.id)

MENJADI petugas Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Raung, boleh dibilang salah satu pekerjaan yang berisiko tinggi sekaligus menantang maut. Betapa tidak, jika terjadi kerusakan alat pemantau, petugas harus mendaki gunung dan segera melakukan perbaikan di lokasi berbahaya.

Beberapa orang ini, hidupnya berkutat dengan gunung berapi. Seperti yang dijalani para petugas Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Raung.

”Kalau kondisi gunung sedang normal tidak terlalu masalah. Tetapi kalau gunung sedang naik status dan ada kerusakan alat mau tidak mau juga harus dibetulkan,” ungkap Mukijo, Kepala PPGA Raung.

Mukijo pernah memiliki beberapa kali pengalaman harus mengganti alat yang rusak dan harus mendaki gunung meski kondisi gunung sedang erupsi.

”Ketika itu ada urgensi memasang closed circuit television (CCTV) di Gunung Rinjani, ketika sampai atas baru selesai pasang alat, gunung pas meletus untung masih aman dan selamat,” ungkap pria berusia 38 tahun ini.

Mukijo mengaku awal masuk kerja tahun 2010 lalu sebagai petugas PPGA, dia langsung berdinas di PPGA Raung. Selama menjadi petugas di PPGA Raung, dia sudah empat kali merasakan erupsi skala kecil dan besar. Erupsi tersebut terjadi pada tahun 2012, 2015, 2020, dan terakhir tahun 2021 ini.

Bahkan, dari empat kali erupsi itu dia juga tiga kali naik ke puncak gunung di ketinggian 3.332 meter dari permukaan laut (mdpl) tersebut. Kali pertama naik puncak yakni pada tahun 2012 sebelum terjadi erupsi. Kemudian kali kedua ke puncak sesudah terjadi erupsi tahun 2012. Setelah itu, naik ke puncak Raung kembali pada tahun 2015, pasca terjadi erupsi.

”Ketika sampai puncak gunung, saya dokumentasikan perubahan yang terjadi di kaldera Gunung Raung,” tegas pria asal Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta itu.

Dalam melakukan aktivitas pengamatan di PPGA Raung, dia tidak sendirian. Mukijo dibantu dua orang pengamat lainnya yakni Burhan Alathea dan Bambang Santoso. Aktivitas pengamatan dilakukan secara visual dengan pancaindra dan secara instrumental menggunakan alat-alat pengamatan gunung api.

Pengamatan visual yakni dengan kasat mata menggunakan pancaindra penglihatan, penciuman, dan pendengaran. Karena dengan demikian, bisa diketahui gejala-gejala peningkatan aktivitas gunung api.

Sedangkan secara instrumental yakni menggunakan peralatan seperti di antaranya seismograf, seismometer, dan global positioning system (GPS), tiltmeter, serta perangkat CCTV.

Bermacam peralatan tersebut terpasang di sekitar Gunung Raung. Peranti tersebut berfungsi untuk memantau perkembangan aktivitas gunung. Alat-alat itu terpasang di kawasan barat laut, selatan, tenggara, serta di timur antara Gunung Raung dan Ijen. Tepatnya berada di wilayah Kabupaten Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi.

Beruntung, perkembangan teknologi cukup memudahkan dalam melakukan pengamatan. Pasalnya, hampir semua peralatan sudah digital. Ketika masih menggunakan seismograf analog, petugas harus mengganti kertas setiap enam jam jika kondisi waspada dan siaga. Sementara jika kondisi normal atau tidak terjadi gempa, kertas bisa diganti selama 12 jam sekali.

”Jika kondisi waspada saat ini kita mengandalkan seismograf digital, datanya lebih akurat,” katanya.

Hasil pengamatan dan pemantauan tersebut dilaporkan ke kantor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Bandung. Jika kondisi normal, hasil pemantauan dan pengamatan dilaporkan selama 1x 24 jam. Sementara jika kondisi waspada dan siaga, kondisi dilaporkan setiap enam jam.

Dari laporan pengamatan secara visual maupun instrumental, selanjutnya menjadi kewenangan PVMBG untuk mengeluarkan rekomendasi mengenai status gunung api.

”Kalau kondisi normal bisa bergantian melakukan pengamatan, tetapi jika status waspada dan siaga, maka semua petugas masuk untuk membantu melakukan pengamatan dan membuat laporan,” terangnya.

Tantangan menjadi petugas PPGA, jika terjadi kerusakan alat maka harus secepatnya dilakukan perbaikan. Karena alat tersebut digunakan untuk mengetahui perkembangan aktivitas gunung api. Untuk melakukan perbaikan itu, maka harus jalan kaki mendaki gunung melewati jalan setapak.

”Kalau jalan setapaknya sudah lama tidak dilewati, maka jalurnya bisa hilang, sehingga rutenya susah untuk ditebak. Jika sudah begitu, sering tersesat di hutan,” pungkasnya.

Sumber : https: //radarbanyuwangi.jawapos.com/features/16/12/2021/para-pemantau-gunung-berapi-bertaruh-nyawa-saat-perbaikan-alat-rusak