Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Penegakan Hukum Sangat Lemah

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

penegakanJadi Bahasan dalam Sarasehan di Blokagung

TEGALSARI – Kasus money politik dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2014, menjadi perbincangan hangat dalam Sarasehan Nasional Ulama dan Cendikiawan tentang Keagamaan, Keumatan, dan Kebangsaan, yang digelar di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari kemarin. Dalam sarasehan itu hadir  mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi; pakar hukum tata negara, Dr. Rafli Harun; dan pakar politik yang  juga mantan Rektor UI Jakarta, Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri.

”Pelanggaran yang besar itu money politik (politik uang) atau vote buying (jual beli suara), sekarang ramai-ramai mengadu ke MK (Mahkamah Konstitusi),” cetus Rafl i Harun. Menurut pakar hukum tata negara itu, kasus dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan pileg yang masuk ke MK jumlahnya itu terus meningkat. Dalam pileg yang digelar 9 April 2014, jumlahnya mencapai 767 kasus. “Pada Pileg tahun 2009 kurang dari 700 kasus, sedang Pileg tahun 2004 hanya ada 273 kasus,” ungkapnya.  

Di antara bentuk pelanggaran yang diadukan ke MK itu, jelas dia, masalah politik uang atau money politic. Para calon anggota legislatif (pileg), mengadu karena merasa dikerjai dengan aksi bagi-bagi uang yang dilakukan oleh para caleg lainnya. “Parahnya caleg itu hanya siap menang, tapi tidak siap kalah, malah ada yang politisasi agama segala,” katanya. Dengan sistem pemilihan distrik atau langsung, jelas dia, para caleg dan calon kepala daerah akan melakukan berbagai upaya untuk pemenangan.

Mereka itu, diantaranya menggunakan cara money politic. “Ada yang pakai serangan fajar, juga ada yang serangan duha,” sebutnya. Rafl i menyebut ada beberapa indikator terjadinya money politik itu, di antaranya sistem pelaksanaan pileg yang ruwet dan lemahnya penegakan hukum. “Sistem pileg ini ruwet sekali, untuk penghitungan saja dilakukan hingga beberapa kali,” cetusnya.  

Penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tempat pemungutan suara (TPS), panitia pemungutan suara (PPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK), dan komisi pemilihan umum (KPU) mulai tingkat kabupaten hingga pusat, oleh Rafl i dianggap rawan ada permainan. “Caleg bisa bermain dengan panitia pelaksana pileg,” ujarnya. Sistem penyelenggraan pileg dan pemilihan lainnya, lanjut dia, harus dipilih yang tepat dan benar, diantaranya dengan menyederhanakan pelaksanaan pemilihan.

“Penghitungan jangan dilakukan hingga beberapa kali, cukup satu kali saja,” katanya. Dengan nada serius, Rafli menyampaikan banyaknya praktik politik uang itu semakin menguat dengan fakta lemahnya penegakan hukum. Para pelaku money politic atau pelanggaran lainnya, tidak ada yang diberi sangsi tegas. “Apa ada caleg yang melakukan money politic didiskualifi kasi?.Tidak ada kan, ini penyakitnya,” ungkapnya. 

Ironisnya, lanjut dia, dalam persidangan di MK bila ada pelanggaran dalam pilkada malah diberi kesempatan untuk dilakukan pilkada ulang, bukan sangsi sepert didiskualifi kasi. “Harusnya bila ada pelanggaran, yang melakukan
didiskualifi kasi, jangan diberi kesempatan lagi,” cetusnya. Sementara itu, pengamat politik dari UI Gumilar Rosliwa Somantri menyebut pelaku money politic itu sebagian besar memang para politisi.

Politisi itu berasal dari partai politik (parpol). “Politisi itu bisa masuk ke parlemen, tapi juga jabatan di eksekutif,” katanya. Untuk menyikapi money politic dan korupsi yang dilakukan para politisi, Gumilar mengajak pada semua untuk melakukan evaluasi diri. Apalagi, parapolitisi yang ada di parpol itu sebagian besar kader dari organisasi kemasyarakatan (ormas). “Ormas sebagai penyuplai kader, perlu melakukan otokritik, terutama dalam pengkaderannya,” ujarnya. 

Ormas harus bisa menciptakan kader yang berkarakter, mandiri dalam berbagai bidang seperti ekonomi, dan memiliki etika atau moral yang tinggi. Selain itu, ormas juga perlu memberi penyadaran  pada umat agar tidak menerima uang suap atau money politic. “Mungkin perlu waktu, tapi in perlu,” katanya. Mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi dalam prolognya menyatakan sarasehan nasional yang digagas ini tidak ada hubungan dengan pileg dan pemilihan presiden (pilpres).

“Saya keliling untuk kegiatan sarasehan seperti ini, nggak ada urusan dengan pileg dan pilpres,” teranngnya. Dalam acara ini, pihaknya hanya ingin mengembalikan kewibawaan para kiai. Dirinya berharap, para kiai dan ulama kembali turun ke lapangan untuk penegakan moral. “Ibaratnya orang menggembala kambing, kiai itu patok, bukan kambingnya,” terangnya. Sehingga, dalam kehidupan kambing harus manut pada patok, bukan patok yang harus manut sama kambingnya. “Yang namanya patok ya harus kuat, jangan mudah goyah oleh gerakan kambing,” ungkapnya. (radar)