Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Setahun Melukis di Malaysia, Dua Anak Jadi Sarjana

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Suhariyanto, Pelukis Realis-Naturalis

TANGAN kirinya memegang sebuah kertas bergambar. Tatapannya fokus pada gambar, tangan kanannya dengan lentik menggoreskan cat. Keterampilan melukis sudah dilakoni Suharianto (58) warga Dusun Sidomulyo, Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, tersebut sejak masih berusia 16 tahun.

Kala itu, dia masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas (SMA). Keterampilan melukis tersebut sebetulnya sudah muncul sejak dia duduk di bangku SMP. Hanya saja, saat itu dia masih melukis pada media kertas.

Ketika sudah duduk di bangku kelas satu SMA, keterampilannya melukis kian mahir. Ketika itu, tidak jarang dia juga sudah mendapatkan undangan untuk ikut pameran dalam berbagai kegiatan.

“Kelas satu SMA, saya sudah mulai menjual lukisan,” tuturnya. Keahliannya melukis tidak hanya muncul atau bakat alamiah.

Keahlian itu juga dipoles oleh gurunya, Usman Juhari, seorang pelukis senior asal Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.

Saat itu, dia merupakan pelukis junior. Satu tingkat di bawah pelukis ternama, Moses Misdi yang memiliki aliran ekspresionisme.

Lukisan hasil karyanya lebih condong beraliran realis dan naturalis. Objeknya lukisannya seperti pemandangan alam, manusia, dan binatang. Namun, beberapa kali jika tidak ada contoh gambar. Dia tetap melukis dengan berimajinasi, membayangkan pemandangan alam.

Hanya, khusus untuk melukis Wajah seseorang, dia harus dibantu menggunakan gambar atau foto. “Jika menggambar Wajah bebas bisa. Tapi jika harus membayangkan wajah seseorang, sulit untuk diwujudkan,” ungkapnya.

Dengan menjadi pelukis realis dan naturalis justru tidak terpaku dalam satu media. Semua media seperti kain kanvas, dinding, kayu semuanya bisa dilukis sepanjang cat masih bisa menempel. “Yang susah memang melukis mural atau dengan media dinding tembok,” katanya.

Melukis mural atau dengan media dinding tembok lebih susah. Jika menggunakan media kain kanvas justru lebih mudah. Karena cat minyak tidak mudah kering. Sehingga jika terjadi kekurangan atau kekeliruan dalam memadukan warna, masih bisa dihapus dengan cepat atau ditempel atau memadukan warna lainnya.

Namun, jika medianya adalah dinding tembok. Cat yang digunakan akan mudah kering. Sehingga jika terjadi kekeliruan warna sedikit saja, maka harus ditumpuk dengan cat warna lainnya. Sehingga, akan mempengaruhi hasil atau kualitas lukisan.

“Justru melukis pada bidang dinding itu lebih sulit, karena catnya mudah kering. Jika di kain kanvas masih basah, jadi masih bisa dibetulkan,” ujar bapak tiga anak ini.

Anehnya, meski tingkat kesulitannya lebih tinggi. Harga lukisan mural justru lebih murah jika dibandingkan dengan lukisan dengan median kain kanvas. Jika lukisan kanvas harganya tidak terbatas. Namun untuk lukisan mural, hanya bisa dihargai per meter persegi.

Kini melukis sudah mengalami kemajuan baik dari segi peralatan maupun warna cat. Jika pada tahun 1976 silam, dia sempat merasakan betapa susahnya melukis dengan menggunakan lem kayu yang dicampur air dan dicampur dengan oker, bahan untuk pelitur. Sehingga sebelum melukis, dia terlebih dulu merebus lem dengan lempengan oker atau bubuk simkuit.

“Saya dulu belajarnya melukis pemandangan pada keber seni langer,” kenang lelaki yang juga guru SMA Sultan Agung Rogojampi ini.

Masa keemasan selama menjadi pelukis dan pengalaman yang tak bisa dilupakan, ketika tahun 1996 silam. Saat itu, dia mendapat kontrak kerja untuk melukis di Malaysia.

Kesempatan untuk bekerja di Negeri Jiran itu juga tak pernah disangka. Dia mempunyai murid melukis bernama Afandi. Selepas sekolah SMP, Afandi bekerja melukis di Bali. Ketika di Pulau Dewata itulah, dia bertemu dengan salah satu bos asal Malaysia, sehingga dikontrak bekerja selama lima tahun.

“Saat berada di Malaysia itu, Afandi ditanya oleh juragannya, kemudian saya dihubungi dan saya memutuskan untuk ikut berangkat ke Malaysia,” kenangnya.

Setelah setahun bekerja di Malaysia, dia memutuskan kembali ke Tanah Air. Waktu pulang ke Indonesia itu, kedua orang tuanya meninggal dunia. Ketika itulah, dia tak lagi memperpanjang kontrak kerja dan memutuskan tetap di Banyuwangi.

“Waktu itu tahun 1996, saya sudah terima gaji sekitar Rp 6 juta per bulan, kadang bisa lebih. Belum termasuk jika mendapat ceperan membuatkan lukisan orang di luar jam kerja,” imbuhnya.

Meski usianya tak muda lagi, dia masih tetap terus berkarya. Berkah dari keuletan dan ketekunannya melukis, dia mampu menghidupi keluarga. Bahkan, dia juga berhasil mengantarkan dua anaknya lulus kuliah hingga mendapat gelar sarjana.