Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Tradisi Sapi-sapian di Desa Kenjo, Kecamatan Glagah

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

tradisiDigelar Lagi setelah Vakum 51 TahunKekayaan tradisi masyarakat Banyuwangi dikenal melimpah. Sepanjang tahun, nyaris ada saja ritual adat yang dijalankan masyarakat Bumi Blambangan. Salah satunya tradisi Sapi-sapian di Desa Kenjo, Kecamatan Glagah.

RITUAL Kebo-keboan, Seblang, dan Barong Ider Bumi, mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Banyuwangi. Namun, ketiga ritual yang masing-masing digelar warga Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh; Desa Olehsari, dan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah tersebut hanyalah “segelintir” dari prosesi adat yang mengakar kuat di tengah masyarakat kabupaten berjuluk Sunrise of Java ini.

Kini, satu lagi ritual yang muncul ke permukaan, yakni Sapi-sapian. Tradisi sapi-sapian itu digelar masyarakat Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Sabtu lalu (5/10). Selain merupakan rangkaian upacara bersih desa setempat, Sapi-sapian itu juga digelar dengan tujuan minta hujan. Tak heran, tradisi Sapi-sapian yang sempat mandek selama puluhan tahun itu kembali digalakkan di tengah musim kemarau seperti saat ini.

“Tokoh sentral” dalam pelaksanaan ritual sapi-sapian diperankan oleh dua pria yang didandani layaknya sapi. Dua pria tersebut mengenakan tutup kepala menyerupai kepala sapi. Mereka juga mengenakan kluntung (kalung sapi yang terbuat dari kayu). Tidak hanya itu, dua pemeran sapi itu juga memikul alat bajak sawah. Dua pemeran sapi itu lantas diarak keliling kampung.

Di belakang dua pria yang berdandan ala sapi, itu ada rombongan warga yang membawa hasil bumi. Di belakangnya lagi, sejumlah warga yang lain ikut berkeliling kampung dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan lainlain. Ada pula beberapa warga yang memikul bambu yang kedua ujungnya dipasangi wadah air yang terbuat dari bambu. Iring-iringan rombongan itu dikawal kesenian barong lengkap dengan musik pengiring.

Belakangan diketahui oleh warga sekitar, wadah air yang terbuat dari bambu itu dijuluki gunjo. Bahkan konon, nama Desa Kenjo berasal dari kata gunjo tersebut. Sapi-sapian ini juga berfungsi sebagai media pengingat warga setempat pada asal-usul desa tempat tinggalnya. Sementara itu, usai arakarakan keliling kampung, rombongan lantas berkumpul di tengah-tengah desa, tepatnya di jalan depan masjid desa setempat.

Di lokasi ini, para peserta arak-arakan lantas memeragakan beberapa fragmen. Mulanya, dua kelompok petani memeragakan fragmen cekcok berebut air. Beruntung, sebelum cekcok tersebut berubah adu fisik, seorang petugas jagatirta datang. Jagatirta tersebut lantas membagi air yang mengalir di parit tersebut secara adil. Setelah sawah dialiri air, dilanjutkan dua warga yang berdandan ala sapi memeragakan adegan membajak sawah. Fragmen selanjutnya, warga yang lain memeragakan adegan menanam padi, merawat, hingga memanen bahan makanan pokok masyarakat setempat tersebut.

Kepala Desa (Kades) Kenjo, Ahmad Gozali mengatakan, ritual Sapi-sapian sebelumnya sempat mandek sejak tahun 1962 silam. Tahun ini, ritual tersebut kembali dihidupkan. “Adat Sapi-sapian digelar setiap musim kemarau sebagai media meminta hujan kepada Tuhan agar air irigasi tidak kurang,” ujarnya. Dijelaskan, ada banyak faktor yang membuat mandeknya ritual Sapi-sapian tersebut, mulai peralihan kekuasaan, perubahan perekonomian masyarakat, dan beberapa faktor yang lain. “Baru kali ini kami uri-uri (melestarikan, Red) lagi. Kami ingin melestarikan adat-istiadat peninggalan leluhur,” cetusnya.

Sekadar tahu, rangkaian bersih Desa Kenjo tersebut diawali dengan selamatan tumpeng pada malam sebelum pelaksanaan Sapi-sapian. Sedangkan malam usai ritual Sapi-sapian, warga setempat dihibur dengan pertunjukan kesenian. Busairi, salah satu tokoh adat Desa Kenjo mengatakan, ritual sapi-sapian menceritakan asal-usul desa setempat. Dia mengungkapkan, awal terbentuknya Desa Kenjo berlangsung tahun 1889.

Kala itu, ada tiga orang yang berasal dari lereng Cawan. Mereka adalah Kamisah, Mujiono, dan Dakir. Ketiganya datang ke daerah cikalbakal Desa Kenjo, itu dengan tujuan mencari wilayah yang kaya sumber air. “Lama kelamaan, semakin banyak warga yang datang dan menetap di wilayah cikal bakal Desa Kanjo ini,” kata dia. Menurut dia, hingga saat ini Desa Kenjo sudah berusia 200 tahun lebih itu, setidaknya bisa dibuktikan dengan adanya bedug kuno yang hingga kini masih dipajang di masjid desa setempat.

“Salah satu tujuan ritual Sapi-sapian adalah agar warga Desa Kenjo, terutama generasi muda mengetahui asal-usul desa kelahirannya,” cetusnya. Busairi menambahkan, dalam ritual tersebut dilakukan arak-arakan dua pemeran sapi. Sebab, pada zaman dahulu, masyarakat Desa Kenjo kesulitan mencari kerbau untuk membajak sawah. Karena tidak ada kerbau, warga setempat akhirnya memilih sapi untuk membajak lahan pertaniannya.

Masih kata Busairi, pesan lain yang ingin disampaikan melalui pelaksanaan ritual Sapi-sapian adalah agar warga setempat merawat pertanian dengan baik tanpa merusak alam. Pesan yang tidak kalah penting, petani diharapkan melakukan pembagian air dengan adil, memilih waktu yang tepat untuk bercocok-tanam, serta selalu mensyukuri rezeki yang diberikan oleh Tuhan.

Berbeda dengan Kades Gozali, Busairi mengatakan ke depan ritual Sapi-sapian digelar pada bulan Suro pada kalender Jawa. Ritual tersebut digelar bersamaan dengan ritual bersih desa setempat. “Untuk saat ini memang kami lakukan tidak di bulan Suro. Karena sempat mandek selama bertahun-tahun, hari ini kami ingin nguri-uri ritual tersebut, tetapi ke depan, ritual Sapi-sapian akan kami gelar pada bulan Suro,” pungkasnya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :