Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Tetap Berkarya di Usia Senja, Naik Ojek dari Desa ke Kota

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Muayanah, 70, menawarkan jamu tradisional yang dikemas dalam botol kepada para pemuda di arena futsal, kemarin.

Muayanah adalah satu dari penjual jamu tradisional keliling. Nenek 70 tahun asal Desa Cantuk, Kecamatan Singojuruh itu tetap berkarya di usianya yang sudah senja. Muayanah berjualan jamu keliling dari desa ke kota. Seperti apa kegigihannya?

DEDY JUMHARDIYANTO, Banyuurangi

HARI masih pagi, mentari juga baru saja menunjukkan sinarnya di ufuk timur. Jarum jam menunjukkan pukul 0730. Seorang nenek dengan mengenakan kerudung datang menghampiri sekelompok pemuda yang baru saja beristirahat bermain futsal.

Perempuan tua itu bisa dibuang masih cukup kuat dan sehat. Buktinya untuk berjalan, wanita yang kulitnya sudah keriput itu tidak perlu membutuhkan alat bantu jalan seperti tongkat atau sejenisnya.

Bahkan, di bahu kiri perempuan itu membawa beban cukup berat berupa tas tenteng berisi jamu tradisional yang berada dalam wadah botol bekas kemasan air mineral. Nenek tua itu adalah Muayanah.

Wanita berusia 70 tahun itu adalah warga yang tinggal di Dusun Cantuk Kidul, Desa Cantuk, Kecamatan Singojuruh. Pagi itu, janda lima anak itu sudah berada di Banyuwangi dan menawarkan jamu tradisional buatannya. Padahal, untuk sampai ke kota dia harus menempuh perjalanan cukup jauh dari desa ke kota.

Dari rumah tempat tinggalnya di Dusun Cantuk Kidul, Desa Cantuk, Kecamatan Singojuruh dia naik ojek menuju Simpang Tiga Lincing, Rogojampi. Selanjutnya dari Simpang Tiga Lincing menuju Banyuwangi naik bus menuju terminal Karangente.

Sesampainya di terminal Karangente, dia naik angkut turun di depan kantor Bupati Banyuwangi di Jalan Ahmad Yani. Untuk sampai ke kota, Muayanah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Untuk naik ojek saja harus membayar ongkos sebesar Rp 15 ribu. Selanjutnya untuk naik bus mengeluarkan ongkos Rp 5.000, dan naik angkot juga membayar biaya Rp 5,000. Jadi, untuk sekali jalan menghabiskan biaya Rp 2,5 ribu.

Jika perjalanan pulang pergi, untuk biaya transportasi saja harus mengeluarkan biaya Rp 50 ribu. Belum lagi untuk kebutuhan makan dan minum selama berjualan jamu keliling.

Muayanah mengaku sudah melakoni aktivitasnya sebagai penjual jamu tradisional itu sejak puluhan tahun silam. Hanya saja, sejak tiga tahun terakhir memilih berjualan dengan mengemas jamu tradisional buatannya ke dalam botol kemasan bekas air mineral ukuran 600 mililiter.

“Kalau jual jamu gendong saya tidak punya gelas dan peralatan. Lebih praktis jualan kemasan botol, tidak repot,” ujar Muayanah. Berjualan jamu keliling ke kota itu tidak dilakoni setiap hari, hanya dilakukan tiga kali dalam seminggu, yakni setiap hari Senin, Rabu, dan jumat.

Daerah operasi tempat berjualan juga berbeda-beda. Hal itu dilakukan agar para pelanggan jamu dagangannya tidak bosan dan bisa terus menantinya setiap satu kali dalam seminggu.

Muayanah membuat sendiri jamu tradisionalnya dengan bahan-bahan alami seperti kunyit, kencur, dan sejumlah bahan lainnya. Dia mulai memproses bahan-bahan jamu yang telah dibeli di Pasar Rogojampi usai melaksanakan salat Asar.

Setelah salat Magrib, racikan jamu tradisional yang dibuatnya sudah jadi dan tinggal menunggu dingin. “Semuanya saya proses sendiri menggunakan peralatan tradisional dengan proses sembilan kali saringan,” ungkapnya sembari menunjukkan jamu tradisional buatannya.

Usai jamu racikannya selesai disaring, barulah ditunggu hingga dingin dan dimasukkan ke dalam wadah bekas air mineral yang telah dibersihkan. Botol-botol bekas air mineral itu dibelinya di salah satu toko di Banyuwangi.

Dalam sekali jalan, Muayanah membawa 45 botol jamu dalam kemasan bekas air mineral ulatran 600 mililiter. Satu botol jamu dijualnya seharga Rp 5.00O. Tidak butuh waktu lama untuk menjajakan jamu buatannya. Sebanyak 45 botol jamu yang ditenteng dalam tas sudah habis terjual maksimal padapukul 14.00.

“Kalau saya jual di lingkungan desa orang beli hanya seribu rupiah. Kalau di sini (Banyuwangi kota, Red) harga Rp 5.000 sudah laris manis. Apalagi penjual jamu tradisional keliling di kota juga masih jarang,” terangnya.

Uang hasil penjualan jamu itu tidak hanya digunakan untuk biaya hidup. Sebagian hasilnya untuk ditabung dan sebagian lainnya disedekahkan untuk masjid dan santunan anak yatim. “Saya sudah tua, saya malu jika meminta-minta meski pada anak kandung saya sendiri. Lebih baik saya bekerja agar bisa sedekah ke masjid,” jelasnya.

Entah sampai kapan Muayanah akan terus berjualan jamu tradisional tersebut. Dia hanya berprinsip, selama masih diberikan kekuatan dan kesehatan, akan terus tetap bekerja sebagai ladang ibadah mempersiapkan hidup sesudah mati.

“Isun baen hang wis tuwek magih gelem megawe, riko hang magih enom lan seger hing gelem megawe iku keseron. (Saya saja yang sudah tua masih mau bekerja. Anda yang masih muda dan sehat tidak mau bekerja itu keterlaluan, Red),” pungkasnya. (radar)