Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Alihkan Hujan Cukup Pakai Pusaka Cemeti

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Ilham Triyadi menunjukkan salah satu medianya untuk mengalihkan hujan.

SEBAGAI Kabupaten yang memiliki akar budaya masyarakat yang cukup kental Banyuwangi tak lepas dari budaya ritual-ritual. Hampir semua kegiatan yang diselenggarakan selalu memiliki kaitan dengan ritual. Tak terkecuali masalah cuaca.

Bukan menjadi rahasia umum jika di Banyuwangi cuaca seringkali dipermainkan. Entah itu untuk menjaga kegiatan hajatan, proyek pembangunan hingga event-event yang diselenggarakan pemerintah.

Bagi kalangan budayawan, mungkin nama Ilham Triyadi sudah tidak asing lagi. Pria yang juga menjadi anggota Tim Cagar Budaya Banyuwangi ini adalah salah satu orang yang sering dimintai bantuan untuk membuat acara-acara sekelas hajatan hingga Banyuwangi Festival agar tidak terganggu oleh hujan.

Ilham menuturkan, para pawang hujan memiliki cara yang bermacam-macam untuk menunda atau mengalihkan hujan agar tidak jatuh di tempat yang dituju. Salah satu temannya yang biasa dipanggil Kang Busairi mengunakan ritual pengalihan hujan dengan menggunakan cemeti.

Biasanya dia akan memecutkan cemeti itu ke beberapa sisi tempat yang dituju. Cemetinya mirip dengan yang digunakan untuk kesenian jaranan. Ada juga tetangganya, Kang Ibrahim yang menggunakan media sesajen dan ritual puasa untuk menghalau agar hujan tidak jatuh saat kegiatan berlangsung. Ditambah dengan menggenggam tangan selama kegiatan berlangsung.

“Caranya bermacam-macam, sebagian dari mereka ada yang turun-temurun dari nenek moyangnya ada juga yang mempelajari ilmu atau menggunakan media benda tertentu,” terang bapak lima anak itu.

llham mengaku mulai dimintai tolong untuk menjadi pawang hujan sejak sepuluh tahun lalu. Saat itu dia membeli enam buah keris warisan dari seseorang yang tinggal di Kelurahan Singotrunan.

Sang penjual mengatakan, jika salah satu dari keris itu memiliki fungsi untuk menangkal hujan. Ilham pun awalnya tidak begitu mengindahkan hal tersebut. Sampai kemudian saat dirinya sedang membangun rumah di daerah Desa Paspan, Kecamatan Glagah, cuaca sedang hujan.

Salah satu tetangganya pun menggodanya untuk menggunakan salah satu keris yang dimilikinya untuk menangkal hujan. Dia pun kemudian mencoba menggunakan salah satu keris yang dibelinya.

Benar saja, hujan yang biasanya jatuh menjadi mereda setelah dia menggunakan keris pusakanya itu. “Bentuknya seperti tombak, namanya bliring. Setelah dicoba ternyata bisa. Tetangga saya yang awalnya bercanda akhimya malah berniat membeli keris saya itu, tapi tidak saya jual karena saya tau manfaatnya,” terang Ilham sambil tersenyum.

Sejak saat inilah Ilham sering dimintai tolong oleh orang-orang di sekitarnya untuk menjadi pawang hujan ketika ada hajatan. “Awal-awal saya menggunakan ubo rampe, kembang telon, dan kopi pahit sebagai penyanding keris pas mau menangkal hujan. Setelah itut etangga banyak yang minta bantuan,” kata Ilham.

Lambat laun, jasa Ilham tak lagi hanya digunakan untuk menangkal hujan di acara desa saja, even Banyuwangi Festixal yang sering melibatkan para pejabat juga ditanganinya. Syarat yang dilakukan pun sama, selain berdoa dia juga selalu membawa keris bliring sebagai media untuk aktivitasnya.

Dia menjelaskan jika doa kepada Tuhan yang Maha Esa tetaplah yang utama dari proses menghalau hujan yang dilakukannya. Selain menggunakan perangkat ritual, dia juga memanjatkan doa dan mantra untuk membuat cuaca menjadi cerah dan hujan tidak jatuh saat itu.

Doa ditunjukkan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan mantra adalah bahasa untuk berkomunikasi dengan mahluk ghaib yang menurutnya juga perlu diajak berkomumkasi.

“Ada orang yang bilang ini musrik dan sesat, tapi ini budaya. Selain itu, ibarat kita dan mahluk ghaib itu adalah sama-sama penghuni di dunia ini, kita juga perlu berkomunikasi dengan mereka selain juga tetap berdoa,” jelasnya.

Dari sekian banyak kegiatan yang pemah ditangani, pria yang juga menjadi guru di salah satu SMP di Rogojampi ini mengaku lebih banyak berhasil daripada gagal. Hanya saja, ada beberapa kategori cuaca yang sulit dihadapi.

Misalnya yang anginnya kencang atau sudah telanjur jatuh deras. Intisari dari ritualnya adalah meminta bantuan angin untuk menghalau hujan. Jadi jika angin tidak menentu atau sudah terlanjur deras maka akan sulit dibendung.

Seperti saat menjelang festival patrol, yang menurutnya, sudah terlambat sehingga hujan tidak bisa ditangkal. “Saya sering diminta bantuan di belakang layar kalau ada B-Fest. Ya saya bantu sebisanya, kita juga kan berdoa,” ujar pria yang juga menjadi kolektor keris itu.

Ilham pernah ditegur oleh salah satu rekannya karena dianggap merusak harmoni dan keseimbangan alam. Dia juga pernah ditunjukkan pesan dari pihak Bandara Blimbingsari agar tidak membuang hujan di wilayah bandara.

Meski begitu, Ilham tak pernah mau dibilang menjadi orang yang berprofesi sebagai pawang hujan. Hanya saja, dengan kemampuan yang dimilikinya secara alamiah itu dia mengaku akan membantu jika memang ada yang membutuhkan.

“Sekarang saya menggunakan media baru, cemeti kecil atau kalau orang Oseng bilang gitik. Kalau pakai ini ritualnya bisa lebih singkat, bahkan kalau kepepet saya tidak perlu lagi menyiapkan dupa atau kembang. Tapi semuanya kembali lagi kepada kehendak Tuhan,” jelas Ilham sambil menunjukkan cemeti kecil yang dibawanya. (radar)