Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Diyakini Tempat Keramat, Doa Agar Hajatan Lancar

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SEJUMLAH warga dengan berpakaian serba hitam, siang itu terlihat berjalan sambil menenteng ancak (pelepah daun pisang tempat nasi). Di antara warga,juga ada yang membawa pincukan daun pisang berisi kue basah, seperti kucur,  nagasari (sumping), bikang, lemper,  dan aneka kue lainnya.

Tidak lupa dari warga itu juga membawa ceret berisi air putih dan kopi pahit.  Persiapan untuk ritual seperti paspan dan kemenyan juga disiapkan. Mereka berjalan menuju situs Balai Kambang yang dipercaya tempat makam leluhur masyarakat desa setempat.

Begitu sampai di lokasi cagar budaya itu, warga meletakkan makanan dan  minuman yang dibawa di atas lantai yang ada di Balai Kambang. Selanjutnya, mereka  duduk bersila. Seorang tokoh agama setempat, langsung memimpin doa sambil  membakar kemenyan pada paspan.

Usai dilakukan doa, beberapa warga membuka daun penutup ancak, dan bersama-sama menyantap nasi beserta lauk pauknya. Tidak ketinggalan, juga menikmati kue basah yang dibawa dengan  minum kopi pahit.  Tradisi yang digelar warga di situs Balai  Kambang di Dusun Krajan, Desa Gitik,  Kecamatan Rogojampi, itu sudah berlangsung turun temurun. Sampai saat  ini, kegiatan itu masih berlangsung.

“Selamatan di Balai Kambang itu wujud syukur pada Allah, makanan yang dibawa itu bentuk sedekah,” cetus juru kunci situs Balai Kambang, Sunardi, 57.  Situs Balai Kambang itu oleh warga di anggap tempat yang keramat dan diyakini tempat leluhur Desa Gitik, yakni  Singo Tobeh dengan pusaka miliknya di kenal gitikan atau pecut (cambuk),  dan itu menjadi cikal bakal nama Desa  Gitik.

“Singo Tobeh orang yang kali pertama datang di Desa Gitik,” terangnya.  Selain makam Singo Tobeh, di Balai  Kambang itu juga ada makam leluhur  dan sesepuh desa, seperti makam pejuang  kemerdekaan, Kapten ALRI M. Ng Ali  Sakti dan makam Endro Toto Hardjo, salah satu pejuang kemerdekaan yang  juga mantan Kepala Desa Gitik yang memerintah pada tahun 1970-1989.

“Bisa dibilang selamatan itu bagian dari budaya pamit kepada leluhur dan sesepuh desa sebelum melaksanakan hajatan,” jelas Sunardi. Tidak diketahui pasti kapan tradisi selamatan di Balai Kambang itu dimulai. Tapi yang pasti, setiap warga yang akan membuat hajatan pernikahan atau khitanan selalu menggelar selamatan ditempat itu.

“Sejak saya kecil, tradisi selamatan itu sudah ada, ” terang Sulaiman, 34, salah satu tokoh pemuda setempat. Selamatan itu  biasanya digelar menjelang hari H pelaksanaan hajatan. Khusus untuk warga yang tinggal di Dusun Krajan dan Dusun Sidorejo, Desa Gitik, makanan yang dibawa untuk acara selamatan itu dengan kemasan piring.

“Kalau makanan yang disajikan biasanya rawon dan soto, pokoknya ya seadanya yang dimasak saat itu,” katanya. Sedang warga yang tinggal di Dusun Sidomulyo dan Dusun Timurejo, selalu membawa makanan itu dalam bentuk ancak yang berisi nasi putih, mie, lauk pauk, seperti telur, tahu, tempe, ayam kare, dan kue basah.

“Yang tidak ketinggalan dan menjadi ciri khasnya itu kopi pahit dan bakar kemenyan,” ujarnya. Selamatan di Balai Kambang itu boleh  diikuti siapa pun. Tapi biasanya, para lelaki mulai anak-anak, remaja, dan orang tua. Dari tahun ke tahun, pelaksanaan selamatan itu sudah mulai banyak  pergeseran.

Dulu dalam selamatan itu membawa rokok dari klobot jagung, tapi kini rokok jarang dibawa atau disuguhkan. Sulaiman mengaku pernah menyaksikan peristiwa yang aneh dan dianggap di luar logika. Saat itu, ada salah satu warga yang menggelar  hajatan untuk mengkhitankan putranya.

Orang tua lelaki yang punya hajat itu tidak meyakini  selamatan di Balai Kambang dan tidak menggelar selamatan. Saat anaknya dikhitan darah segar terus mengalir, dan lukanya juga tidak kunjung kering meski sudah diberikan obat. Karena  ketakutan, sang ibu berinisiatif menggelar  selamatan di Balai Kambang.

“Saat itu bagian dapur hanya membawa satu pincuk nasi beserta lauk pauk, dan satu pincuk kue basah dibawa ke makam. Tak lama setelah selamatan, darahnya langsung mampet dan lukanya kering,”  kenangnya. Begitu juga pada tahun 2012, salah seorang warga pendatang di Dusun Sidomulyo, Desa  Gitik yang akan melaksanakan hajatan menikahkan putrinya.

Saat itu, keluarga tersebut  sama sekali tidak percaya akan ritual selamatan itu. Entah kenapa, pada saat hari H pelaksanaan pesta pernikahan, mendadak ada angin putting beliung. Seluruh tenda rusak diterjang angin, begitu juga pelaminan tempat pengantin terbalik, meja dan kursi rusak karena tertimpa tenda.

“Setahu saya, ada saja hal aneh di luar  nalar jika tidak melaksanakan ritual selamatan di Balai Kambang,” cetusnya. Karena sering ada peristiwa yang aneh di luar nalar itulah, hingga kini sebagian wargajuga masih melestarikan tradisi selamatan di Balai Kambang setiap akan melaksanakan hajatan.

“Semua datang dari Allah, dalam selamatan itu yang kami baca juga doa dan tahlil dengan harapan diberikan keselamatan pada yang punya hajat mulai awal hingga akhir, itu saja,” pungkasnya . (radar)