Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Gintangan Salah Satu Bahasa Oseng Tua

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

gintanganBANYAK yang menyebut bahasa asli masyarakat Banyuwangi adalah bahasa Oseng. Tetapi, di manakah bahasa Oseng tertua, hingga kini belum ada yang bisa memastikan. Memang ada beberapa peneliti yang pernah melakukan pemetaan pengguna bahasa Oseng, tapi hasilnya tidak terlalu memuaskan. Kenapa tidak memuaskan? Karena hasilnya tidak sesuai kenyataan empiris di lapangan. Tidak sedikit data yang keliru, entah disengaja ataukah tidak.

Begitulah kata Ketua Pusat Penelitian Bahasa Oseng, MH. Qowim. “Ketimpangan itu bisa disengaja, bisa juga disebabkan ketidakmampuan peneliti,” katanya. Nah, beberapa hari lalu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud (BPPB Kemendikbud) bersama Balai Bahasa Jawa Timur sengaja datang ke Banyuwangi untuk melakukan penelitian bahasa Oseng. 

Tujuan penelitian mereka kali ini adalah menambah data yang sudah mereka miliki tentang bahasa Oseng, mengetahui sikap masyarakat terhadap bahasa Oseng, dan perbedaan bahasa Oseng di wilayah kota dan desa. Dalam penelitian kali ini, mereka menggandeng Pusat Penelitian Bahasa Oseng dan Dewan Kesenian Blambangan (DKB). Wilayah-wilayah yang termasuk pusat kota, di antaranya Kelurahan Lateng, Singotrunan, Temenggungan, Panderejo,
dan lain-lain. Adapun yang jauh dari pusat kota adalah desa-desa di Kecamatan Kabat dan Rogojampi.

Diharapkan, di Kecamatan Kabat dan Rogojampi ditemukan relik, yakni desa pengguna bahasa Oseng yang cenderung bisa mempertahankan diri alias belum terkontaminasi bahasa lain. “Berdasar pemetaan yang tengah dilakukan Pusat Penelitian Bahasa Oseng, masyarakat di wilayah Kecamatan Kabat dan Rogojampi termasuk relik,” kata Hasan Basri, wakil ketua DKB. Wilayah kota yang dipilih sebagai daerah penelitian adalah Kelurahan Lateng. 

Sebab, selain ada penutur bahasa Jawa, di Kelurahan Lateng juga berdiri pasar. Nah, hampir semua penduduk yang beraktivitas di pasar tersebut penutur bahasa Madura. Ditambah lagi, di sebelah timur, Kelurahan Lateng berdampingan dengan Kelurahan Kampung Mandar yang penduduknya merupakan penutur bahasa Madura. Nah, di bagian tengah Kelurahan Lateng adalah Kampung Arab. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan bahasa Oseng di Kelurahan Lateng bercampur dengan bahasa-bahasa lain, seperti Madura, Jawa, dan Arab.

“Kita ingin mengetahui apakah banyak fon dan morf bahasa lain yang masuk ke dalam bahasa Oseng yang mereka gunakan,” kata Oktavia Vidiyanti, peneliti dari Balai Bahasa Jawa Timur. Sementara itu, kriteria yang digunakan menentukan daerah penelitian di Kecamatan Rogojampi dan Kabat adalah; usia desa tersebut harus tua, warganya penutur bahasa Oseng, dan bahasa Oseng menjadi bahasa pertama yang diajarkan kepada anak atau biasa disebut sebagai “bahasa ibu”. Dengan berbagai pertimbangan, dipilihlah Gintangan dan Mangir sebagai lokasi penelitian. 

Gintangan dan Mangir dipilih karena kedua desa tersebut dianggap memenuhi syarat dan relik, meskipun kedua desa itu sama-sama di Kecamatan Rogojampi. “Ini bukan penelitian main-main. Jadi, mulai penentuan populasi harus metodologis dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lain kali kami akan lakukan penelitian di Kecamatan Kabat,” kata Inayatusshaliha, peneliti dari BPPB Kemendikbud. Di Gintangan, data diambil dari seratus informan dengan berbagai kriteria usia.

Sebanyak 30 informan berusia 10 sampai 25 tahun, sebanyak 35 informan berusia 26 sampai 40 tahun, dan sebanyak 41 informan berusia 41  hingga 70 tahun. Seratus informan tersebut merupakan warga berbagai dusun di Desa Gintangan, kecuali Dusun Gumuk Agung. Sebab, warga Gumuk Agung penutur bahasa Jawa. “Kami juga ingin mengetahui bagaimana sikap mereka terhadap bahasa Oseng,” kata Okta, panggilan akrab Oktavia Vidiyanti. Sementara itu, di Desa Mangir data diambil dari tiga informan. 

Tiga informan itu hanya menguasai bahasa Oseng. Mereka bukan dwibahasa. Diharapkan, data yang muncul lebih akurat dan mendekati kebenaran empiris. “Kami sengaja memilih informan yang hanya bisa bahasa Oseng, karena ingin menyajikan sampel yang akurat kepada peneliti,” tambah Hasan Basri. Hasilnya, ditemukan bunyi-bunyi bahasa baru yang tidak muncul pada penutur bahasa Oseng di wilayah kota. Muncul fon tebal, seperti [w], [g], [l], [u], dan lain-lain.

Selain itu, juga ditemukan fon-fon yang mengandung aspirat [y], seperti [wy], [gy], [ly], dan lain-lain. Bunyi-bunyi itu terdengar jelas dari ujaran-ujaran yang dimunculkan informan, termasuk diftong yang tidak boleh diabaikan peneliti. “Kami menemukan fon-fon unik yang tidak ditemukan pada penutur bahasa Oseng di pusat kota. Itu sangat menarik,” kata Puspa Ruriana M.Hum, peneliti dari Balai Bahasa Jatim yang lain. Ahli leksikografi tersebut menyebut, di Desa Mangir bunyi [o] dan [e] juga terdengar sangat jelas. 

Atau dalam ilmu linguistik disebut “terdengar sempurna”. Hal itu sangat berbeda dengan bahasa Oseng di pusat kota. “Jadi, kata /oseng/ itu bunyinya [o] dan [e], bukan [u] dan [i],” timpal Hasan Basri. Puspa Ruriana yang dalam penelitian kali ini bertugas sebagai pencatat fonetis itu mengaku terkejut dengan kekhasan bahasa Oseng di Mangir dan Gintangan. Selama ini yang terkenal hanya Kemiren. (radar)