Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Puskesmas Dilarang Pungut Biaya Fogging

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI- Kabar munculnya korban meninggal dunia akibat demam berdarah dengue (DBD) di Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi, membuat pihak Dinas Kesehatan Banyuwangi angkat bicara. Kabid Pencegahan Penyakit Menular Dinkes Banyuwangi, Waluyo, menjelaskan hanya satu korban meninggal karena positif DB. Satu lagi dipastikan meninggal karena penyakit tifus.

Waluyo mengatakan, pasien atas nama Zulia Rahma Putri, 9,  dipastikan meninggal karena tifus setelah pihak Rumah Sakit NU, Mangir, Rogojampi memaparkan penyebab kematian siswi kelas 3 SDN 1 Gintangan tersebut.

Korban menimggal dunia atas nama Imroatul Muntafiah, 7, diakui memang karena demam berdarah. Terlambatnya penanganan medis terhadap pasien, menurut Waluyo membuat Imroatul meninggal. Berdasar keterangan rumah sakit yang merawatnya, anak pasangan Slamet dan Siti Naqiyah itu datang sudah dalam masa kritis.

“Menurut dokter Ika dari RSNU, Zulia dipastikan meninggal dunia karena febris typoid, atau tifus, sedangkan Imroatul menurut dr. Indro dari RSNU yang mmerawat pasien tersebut, memang meninggal karena dengue haemorhagic-fever (DHF) atau demam berdarah,” beber Waluyo.

Diberitakan sebelumnya, penyakit demam berdarah dengue (DBD) melanda wilayah Rogojampi. Dalam empat hari terakhir dua bocah asal Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi, meninggal dunia akibat terjangkit penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes aegypti tersebut.

Kemarin pagi (13/1) bocah berusia sembilan tahun, Zulia Rahma Putri, 9, asal Dusun Kedungbaru RT1/RW 04, Desa Gintangan, mengembuskan napas terakhir setelah menjalani perawatan intensif selama tiga hari di RSNU Mangir, Rogojampi.

Menurut keterangan kakek korban, Kaspi, 55, murid kelas 3 SDN 1 Gintangan tersebut awalnya mengalami gejala panas dan tubuhnya lemas. “Awalnya saya kira kena tifus karena kondisinya terus memburuk. Pada hari Minggu (10/1) kami bawa ke rumah sakit, ternyata kena penyakit demam berdarah dan akhirnya meninggal,” jelas Kaspi.

Sebelumnya, kejadian sempat juga menimpa Imroatul Muntafiah, 7, anak pasangan suami dari Slamet dan Siti Naqiyah asal Dusun Kedungsari RT 02/ RW 02, Desa Gintangan. Bocah tersebut meninggal akibat DBD Sabtu dini hari (9/1).

Menurut Slamet, anak keduanya itu sempat mengalami kejang hebat sebelum dirujuk ke RSNU. “ Padahal, sebelumnya dia sehat dan masuk sekolah seperti biasa. Tetapi, setelah pulang sekolah di hari Kamis itu (7/ 10) dia sakit, malah gurunya sempat merawatnya di sekolah,” jelasnya kala itu.

Kasi Pencegahan Penyakit Menular, Sudarto Setyo, menambahkan pada Januari ini jumlah pasien terus bertambah. Pihaknya berpatokan terhadap data Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KDRS), bukan kepada isu masyarakat atau informasi yang tidak jelas.  Data yang digunakan tersebut mengacu hasil laboratorium.

“Patokan kita dari KDRS. Mungkin banyak isu atau kabar tentang pasien yang demam dan indikasi demam berdarah, tapi kita melihat data berdasar hasil lab. Di beberapa kasus kadang pasien yang dianggap DB adalah pasien tifus atau sakit lain, seperti yang meninggal kemarin,” jelas Darto.

Namun, terkait kejadian yang menimpa siswi sekolah dasar itu, pihaknya akan mengaktifkan survelen di setiap puskesmas. Dengan adanya survelen, Dinkes berharap dapat mendeteksi potensi dan jumlah penderita DBD secara lengkap di lapangan.

Menurut dia, pemberantasan demam berdarah hanya dapat dilakukan jika masyarakat turun tangan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Cukup meluangkan waktu 60 menit untuk membersihkan sarang-sarang nyamuk dan membunuh jentik menurutnya sudah cukup untuk menekan angka penyebaran DB.

Ditambah dengan penggunaan fogging untuk membunuh nyamuk dewasa, maka DB dapat dihabiskan secara tuntas. “Banyuwangi ini wilayah endemis DBD, sehingga dalam setahun penuh nyamuk demam berdarah dapat terus berkembangbiak. Karena itu, dibutuhkan peran serta masyarakat untuk membersihkan lingkungannya sendiri, karena nyamuk aedes aegypti memiliki jarak tempuh sampai radius 200 meter,” ungkapnya.

Sementara itu, terkait fogging yang dinilai memberatkan masyarakat, Darto memaparkan prosedur penggunaan obat jenis malathion tersebut. Dia mengatakan, pemerintah menyediakan obat dan alat untuk digunakan masyarakat.

Namun, bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan untuk alat tersebut menjadi tanggungan masyarakat. “Puskesmas tidak diperkenankan menarik biaya untuk pengasapan,” imbuhnya. Yang penting pihak desa atau kelurahan menjadi tempat fogging dapat menyediakan BBM dan honor bagi petugas yang melakukan pengasapan.

“Petugasnya ini non-PNS dan bukan pegawai puskesmas. Jadi, kita minta peran serta masyarakat untuk memberi honor bagi petugas. Untuk obat dan alat kita yang menyediakan. Tinggal masyarakat masyarakat menyediakan solar untuk pengasapan dan bensin sebagi bahan bakar alatnya, itu saja,” terang Darto.

Dia berharap masyarakat dapat memahami prosedur tersebut. Terlebih fogging itu demi kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Dengan membayar honor petugas dan BBM dapat menjadi pesan kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam menjaga kebersihan lingkungan.

“Kalau memang fogging dianggap mahal, masyarakat bisa menghidupkan gerakan bersih-bersih lingkungan yang sebenarnya lebih efektif,” tegasnya. (radar)