sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Harapan ribuan warga di dua kabupaten barat Bali untuk mendapatkan kepastian nasib atas lahan mereka kembali pupus.
Proyek Jalan Tol Gilimanuk–Mengwi, yang digadang-gadang sebagai jalur strategis penghubung Bali–Java, kini memasuki babak paling rumit.
Tidak hanya minim diminati investor, proyek ini meninggalkan dampak sosial yang menjerat masyarakat dalam ketidakpastian hingga tahun keempat.
Sejak penetapan lokasi (penlok) proyek beberapa tahun lalu, lahan-lahan milik warga di Kabupaten Jembrana dan Tabanan langsung masuk dalam “zona beku”.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan tanah-tanah tersebut sebagai calon trase tol.
Akibatnya, para pemilik lahan kehilangan hak-hak dasar atas asetnya.
Baca Juga: Teks Khutbah Jumat 12 Desember 2025 Tentang Pelajaran Besar dari Peristiwa Jumadil Akhir dalam Sejarah Islam
Aset Dibekukan: Tak Bisa Dijual, Tak Bisa Dijaminkan
Di Jembrana, sebanyak 33 desa terdampak dengan total 4.305 bidang lahan. Sementara di Tabanan, jumlahnya lebih besar: 64 desa dan total lahan mencapai 212,9 hektare.
Status lahan yang “dibekukan” membuat warga tidak bisa menjual, mengalihkan, atau bahkan menjaminkan asetnya ke bank.
Banyak yang gagal memperoleh modal usaha, biaya sekolah anak, hingga kebutuhan kesehatan karena tidak bisa menjadikan tanah atau rumah mereka sebagai jaminan.
“Sudah empat tahun begini. Sertifikat tetap atas nama kami, tapi tidak ada nilainya. Bahkan renovasi atap yang bocor pun kami tahan,” keluh salah satu warga Desa Pekutatan yang tak ingin disebut namanya, seperti dilansir dari Radar Bali.
Baca Juga: Harga Emas UBS, Galeri24, dan Antam 12 Desember 2025 Kompak Naik: Cek Perbandingan dan Daftar Lengkap Semua Ukuran
Tak Berani Renovasi Rumah
Ketakutan yang paling terasa adalah pada warga yang rumahnya berdiri tepat di atas calon jalur tol. Meski atap rapuh, dinding retak, atau lantai rusak, mereka memilih bertahan.
Alasannya sederhana: bila renovasi dilakukan lalu pembebasan lahan tiba-tiba berjalan, seluruh biaya yang sudah dikeluarkan berpotensi hangus.
Page 2
“Harus ada pembaruan penetapan lokasi. Semua proses kembali dari penlok, DED, Amdal, sampai sosialisasi dan pengadaan lahan,” jelasnya, Rabu (10/12).
Artinya, warga harus kembali menunggu, entah berapa lama lagi.
Proses baru diperkirakan menunjukkan perkembangan konkret setelah 7 Maret 2026.
Baca Juga: Video Viral Sopir Rosalia Indah Ugal-Ugalan di Jalan Tol, Pengemudi Dibebastugaskan dan Disanksi
Untuk membuat proyek kembali seksi, pemerintah menyiapkan insentif melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Dukungan yang dipertimbangkan antara lain:
- subsidi pembebasan lahan,
- subsidi biaya konstruksi,
- pembangunan ruas dengan traffic rendah memakai APBN,
- hingga perpanjangan masa operasi (BOT).
Tujuannya satu: menekan risiko finansial agar investor mau ikut serta.
Fokus pada Ruas Prospektif
Dalam International Conference on Infrastructure (ICI) 2025, pemerintah mengubah strategi penawaran.
Fokus kini diarahkan hanya pada ruas Pekutatan–Soka–Mengwi sepanjang 43,2 km, yang dianggap memiliki trafik tinggi dan nilai bisnis lebih menjanjikan.
Kepala BPJT, Wilan Oktavian, menegaskan bahwa pemerintah menyadari investor tidak ingin menggarap seluruh ruas.
Ruas Gilimanuk–Pekutatan yang sepanjang 53,6 km dinilai kurang prospektif.
Oleh karena itu, pemerintah berencana mengambil alih pendanaannya lewat APBN.
Investor hanya diminta menggarap bagian yang paling menjanjikan.
Baca Juga: Yoo Seungeon dan Ji Yunseo Tinggalkan EVNNE, Ini Pernyataan Resmi Jellyfish Entertainment
Warga Menunggu Kepastian Setelah Empat Tahun Terjebak
Di sisi lain, ribuan warga di Jembrana, Badung, dan Tabanan hanya berharap pada satu hal: kepastian.
Empat tahun hidup di atas lahan yang “dibekukan” membuat aktivitas ekonomi mereka terganggu.
Banyak yang ingin membangun bisnis, memperbarui rumah, atau sekadar mengalihkan aset ke anak mereka—semua itu tidak bisa dilakukan selama status penlok belum dicabut atau diperbarui.
Page 3
“Bagaimana mau perbaiki? Nanti kalau digusur, siapa ganti rugi renovasinya? Terlalu berisiko,” ujar warga lainnya.
Kajian Ulang Molor hingga 2026
Masalah ini semakin kompleks setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memutuskan mengulang studi kelayakan (feasibility study/FS).
Baca Juga: Sinergi Pemerintah-Swasta, Pelabuhan Tanjung Wangi Siap Jadi Pintu Ekonomi Baru Timur Jawa
Kajian yang semula ditargetkan rampung Desember 2025, kini diprediksi mundur sampai Maret 2026.
Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PU menjelaskan bahwa rendahnya minat investor menjadi alasan utama.
Pada lelang sebelumnya, hampir tidak ada badan usaha yang bersedia terjun menggarap proyek sepanjang 96,84 kilometer ini.
Penyebabnya:
- biaya pembebasan lahan membengkak,
- biaya konstruksi meningkat,
- dan estimasi volume lalu lintas (traffic) dianggap terlalu rendah.
Kombinasi faktor tersebut membuat perhitungan pengembalian investasi menjadi terlalu panjang. Secara bisnis, proyek dinilai kurang menarik.
Padahal nilai proyek awal ditaksir mencapai US$ 1,56 miliar atau sekitar Rp 25,4 triliun.
Baca Juga: Cara Menonton Hujan Meteor Geminid 14–15 Desember Tanpa Alat Khusus
Opsi Perubahan Trase: Solusi atau Rumitkan Masalah Baru?
Untuk menyelamatkan proyek, pemerintah kini mempertimbangkan opsi ekstrem: mengubah trase tol.
Perubahan jalur ini diharapkan dapat:
- mengurangi biaya konstruksi,
- menekan biaya pembebasan lahan,
- dan meningkatkan volume lalu lintas dengan menghubungkan lokasi-lokasi strategis baru.
Salah satu ide yang digodok adalah mengarahkan trase mendekati Bandara Internasional Bali Utara di Buleleng dan kawasan wisata Sumberkima.
Namun, langkah ini membawa konsekuensi besar.
Menurut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Tol Gilimanuk–Mengwi, Ketut Kariasa, jika trase diganti, maka seluruh proses proyek harus diulang dari awal.
Page 4
“Kalau proyek jadi, kami siap. Kalau batal, cabut saja penlok. Jangan biarkan kami menggantung,” ujar seorang tokoh masyarakat di Tabanan.
Kesimpulan: Dampak Sosial Lebih Nyata Daripada Gambar Teknik
Di atas kertas, Tol Gilimanuk–Mengwi adalah proyek strategis yang akan mempercepat arus logistik, mengurangi kemacetan jalur nasional, dan meningkatkan konektivitas Bali.
Namun di lapangan, realitasnya jauh berbeda.
Proyek ini membekukan ribuan kehidupan, menahan peluang ekonomi, dan memaksa warga hidup dalam ketidakpastian panjang. Entah dilanjutkan atau diubah, keputusan tegas pemerintah kini menjadi kebutuhan mendesak.
Karena bagi warga, waktu empat tahun bukan sekadar angka. Itu adalah tabungan yang terhenti, renovasi yang tertunda, peluang usaha yang hilang, dan kehidupan yang menunggu kejelasan. (*)








