Hasil Pemeriksaan selama Dua Bulan
GENTENG – Angka penularan HIV/AIDS tampaknya cukup tinggi di Banyuwangi. Yang terbaru, sebanyak 33 ibu hamil (bumil) di beberapa kecamatan di Banyuwangi Selatan dinyatakan positif terjangkit virus yang menggerogoti daya tahan tubuh manusia tersebut.
Penegasan itu disampaikan kepala klinik voluntary counseling and testing (VCT) dan care support treatment (CST) RSUD Genteng, dr. Sugiyo Sastro, kemarin (24/8). “Itu hasil pemeriksaan yang kami lakukan,” cetus dr. Sugiyo Sastro.
Menurut Giyo, sapaan dr. Sugiyo Sastro, sebanyak 33 ibu hamil yang terjangkit HIV/AIDS itu diketahui berdasar hasil pemeriksaan yang dilakukan Juli dan Agustus 2016. “Selama dua bulan itu yang memeriksakan diri 252 orang, dan 33 ibu hamil positif HIV/AIDS,” bebernya.
Para ibu hamil yang terindikasi terkena HIV/AIDS itu, terang dia, saat ini sudah mendapat pendampingan dari tim RSUD Genteng dan puskesmas yang telah ditunjuk. Dari 33 ibu hamil itu, 31 ibu di antaranya sudah melahirkan.
“Jadi tinggal dua yang belum melahirkan,” ungkapnya. Giyo menyampaikan, ibu yang tengah hamil diminta memeriksakan diri atau screening HIV/AIDS. Itu dilakukan untuk mengetahui potensi penularan penyakit yang belum ada obatnya itu. Jika bisa dideteksi sejak dini, jelas dia, sangat membantu penanganannya dan bisa dilokalisasi.
“Kalau kita tahu sebelum melahirkan, bayi bisa sehat dan tidak tertular,” ungkapnya. Berdasar hasil pemeriksaan yang dilakukan, masih kata dia, ibu rumah tangga banyak yang terindikasi terkena HIV/AIDS. Secara teori, ibu rumah tanggayang positif terkena HIV/AIDS itu tertular dari suami. Hanya saja, pihaknya tidak bisa memastikan selama suami itu tidak memeriksakan diri.
“Yang banyak itu ibu rumah tangga, biasanya yang bawa ya suaminya,” jelasnya. Tapi juga banyak, terang dia, pasangan suami istri yang terkena HIV/AIDS hanya salah satu saja. Itu ditemukan dari pasangan yang salah satunya pernah menikah dua kali.
“Misalnya ada janda menikahi duda, salah satunya terkena HIV/AIDS, dan pasangannya tidak, bisa saja mereka belum pernah hubungan,” ucapnya sambil menyarankan jika ada yang seperti itu hendaknya segera memeriksakan diri.
Warga yang tidak mau memeriksakan diri itu, jelas dia, terkadang terkendala masalah keluarga dan ekonomi, terutama yang rumahnya jauh dari lokasi VCT-CST. Selain itu, petugas kesehatan tidak mampu menjemput dan mengantar pulang. Terkait kendala itu, sekarang banyak dibantu pendamping dari sejumlah LSM yang konsen pada isu ODHA “Obatnya itu gratis, tapi mereka terkendala kalau harus ke rumah sakit,” katanya.
Salah satu pendamping ODHA, Munib, 35, dari komunitas Raung Community, mengatakan ada beberapa keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi prasejahtera. Mereka mengalami kesulitan jika harus bolak-balik menuju klinik untuk mengambil obat. “Ada yang rumahnya jauh dari sini,” jelasnya. (radar)