Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Bukan Cuma Soal Rasa, Ini Makna Kuliner Campur-campur di Banyuwangi

bukan-cuma-soal-rasa,-ini-makna-kuliner-campur-campur-di-banyuwangi
Bukan Cuma Soal Rasa, Ini Makna Kuliner Campur-campur di Banyuwangi

KOMPAS.com – Dari rujak yang dicampur kuah soto hingga nasi pecel yang disiram rawon, kuliner Banyuwangi sering kali hadir dalam bentuk “campur-campur”.

Namun, di balik piring yang tampak ramai itu, tersimpan makna budaya yang lebih dalam. 

Tradisi mencampur ragam bahan dalam satu sajian ini bukan sekadar urusan rasa, melainkan cermin cara masyarakat Banyuwangi menerima dan menyatu dengan keberagaman.

Salah satu contohnya adalah lontong campur, kuliner khas yang hanya bisa ditemukan di Banyuwangi, khususnya di kawasan Glenmore. 

Baca juga:

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Taufik Hidayat mengatakan, hidangan ini bahkan tidak dijumpai di wilayah lain.

“Lontong campur Glenmore itu legend kalau di sini, karena di daerah lain tidak ada. Kalau ingin makan lontong campur, harus ke Glenmore,” kata Taufik kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (11/11/2025).

Keistimewaannya, kata Taufik, terletak pada lontong yang lembut, dipadukan dengan bumbu kacang, sayur kuah santan, dan irisan daging. 

Baca juga: Resep Nasi Tempong Banyuwangi untuk Libur Natal dan Tahun Baru

Taufik menjelaskan bumbu kacangnya dibuat dengan cara diulek, bukan instan, sehingga tingkat kepedasan bumbu kacang bisa disesuaikan.

“Lontongnya enak lembut, tidak seperti lontong biasa, lontongnya memang dibuat khusus,” ujar Taufik.

Di Glenmore, sambungnya, lontong campur bisa disantap dari pagi hingga malam, dan penjualnya mudah ditemui di area pasar maupun sekitar stasiun.

Baca juga: Resep Rujak Soto Banyuwangi yang Lezat untuk Natal dan Tahun Baru

Makna di balik tradisi mencampur hidangan

Namun, mengapa masyarakat Banyuwangi begitu akrab dengan kuliner “campur-campur”? 

Budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono menjelaskan tradisi ini tak lepas dari sejarah interaksi budaya di daerah tersebut.

Menurut dia, kebiasaan mencampur makanan bukan sekadar kreativitas kuliner, melainkan cerminan akulturasi budaya yang berlangsung sejak lama.

“Seni mencampur makanan di Banyuwangi nyatanya tidak hanya perihal rasa makanan. Tetapi ada hubungannya dengan tradisi dan budaya setempat,” ujar Aekanu saat Kompas.com temui di Pendapa Sabha Swagata Blambangan, Sabtu (25/10/2025).

Ilustrasi rujak soto khas Banyuwangi.Dok. Shutterstock/ Reezky Pradata Ilustrasi rujak soto khas Banyuwangi.

Ia mengatakan Banyuwangi dihuni beragam suku dan budaya, termasuk masyarakat Osing. 

Meski dahulu ada anggapan bahwa suku Osing menolak pengaruh luar, kenyataannya mereka justru adaptif.

“Tapi kenyataannya masyarakat itu adaptif. Buktinya apa? Keseniannya dicampur juga, sampai kepada makanannya,” kata Aekanu.

Ia melanjutkan, akulturasi itulah yang kemudian melahirkan kuliner unik yang hanya ditemukan di Banyuwangi.

“Jadi intinya, orang Osing itu orang yang fleksibel, orang yang adaptif, orang yang menerima apapun. Saya yakin mereka mencoba (mencampur makanan), dan ternyata makanan itu enak dan menjadi popular,” lanjutnya.

Baca juga: 5 Tempat Makan di Banyuwangi Cocok untuk Keluarga Besar yang Mudik

Rujak Soto hingga Pecel Rawon

Dalam buku “Jendela Indonesia: Campur-Mencampur Ala Banyuwangi-an” (2021) yang disusun Litbang Kompas, dua makanan campur yang paling popular di Banyuwangi yaitu rujak soto dan pecel rawon.

Rujak soto merupakan campuran rujak ulek atau rujak cingur dengan kuah soto, sementara pecel rawon adalah perpaduan antara pecel khas Madiun dan rawon dari Surabaya.

Seporsi pecel rawon berisi nasi dengan sayuran rebus seperti bayam, taoge, dan kacang panjang yang dibalut sambal pecel. 

Baca juga: 7 Rekomendasi Kuliner Banyuwangi, Wajib untuk Dicoba

Lalu, semuanya disiram kuah rawon hitam dan diberi pelengkap seperti udang goreng, empal, ragi, paru goreng kering, serta rempeyek kacang.

Dengan kekayaan akulturasi rasa itu, kuliner Banyuwangi menunjukkan bahwa mencampur bukanlah simbol kekacauan, melainkan cara masyarakat merayakan keberagaman. 

Campuran bahan bukan hanya menciptakan cita rasa khas, tetapi juga menggambarkan identitas budaya yang terbuka dan fleksibel.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Page 2

KOMPAS.com – Dari rujak yang dicampur kuah soto hingga nasi pecel yang disiram rawon, kuliner Banyuwangi sering kali hadir dalam bentuk “campur-campur”.

Namun, di balik piring yang tampak ramai itu, tersimpan makna budaya yang lebih dalam. 

Tradisi mencampur ragam bahan dalam satu sajian ini bukan sekadar urusan rasa, melainkan cermin cara masyarakat Banyuwangi menerima dan menyatu dengan keberagaman.

Salah satu contohnya adalah lontong campur, kuliner khas yang hanya bisa ditemukan di Banyuwangi, khususnya di kawasan Glenmore. 

Baca juga:

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Taufik Hidayat mengatakan, hidangan ini bahkan tidak dijumpai di wilayah lain.

“Lontong campur Glenmore itu legend kalau di sini, karena di daerah lain tidak ada. Kalau ingin makan lontong campur, harus ke Glenmore,” kata Taufik kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (11/11/2025).

Keistimewaannya, kata Taufik, terletak pada lontong yang lembut, dipadukan dengan bumbu kacang, sayur kuah santan, dan irisan daging. 

Baca juga: Resep Nasi Tempong Banyuwangi untuk Libur Natal dan Tahun Baru

Taufik menjelaskan bumbu kacangnya dibuat dengan cara diulek, bukan instan, sehingga tingkat kepedasan bumbu kacang bisa disesuaikan.

“Lontongnya enak lembut, tidak seperti lontong biasa, lontongnya memang dibuat khusus,” ujar Taufik.

Di Glenmore, sambungnya, lontong campur bisa disantap dari pagi hingga malam, dan penjualnya mudah ditemui di area pasar maupun sekitar stasiun.

Baca juga: Resep Rujak Soto Banyuwangi yang Lezat untuk Natal dan Tahun Baru

Makna di balik tradisi mencampur hidangan

Namun, mengapa masyarakat Banyuwangi begitu akrab dengan kuliner “campur-campur”? 

Budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono menjelaskan tradisi ini tak lepas dari sejarah interaksi budaya di daerah tersebut.

Menurut dia, kebiasaan mencampur makanan bukan sekadar kreativitas kuliner, melainkan cerminan akulturasi budaya yang berlangsung sejak lama.

“Seni mencampur makanan di Banyuwangi nyatanya tidak hanya perihal rasa makanan. Tetapi ada hubungannya dengan tradisi dan budaya setempat,” ujar Aekanu saat Kompas.com temui di Pendapa Sabha Swagata Blambangan, Sabtu (25/10/2025).

Ilustrasi rujak soto khas Banyuwangi.Dok. Shutterstock/ Reezky Pradata Ilustrasi rujak soto khas Banyuwangi.

Ia mengatakan Banyuwangi dihuni beragam suku dan budaya, termasuk masyarakat Osing. 

Meski dahulu ada anggapan bahwa suku Osing menolak pengaruh luar, kenyataannya mereka justru adaptif.

“Tapi kenyataannya masyarakat itu adaptif. Buktinya apa? Keseniannya dicampur juga, sampai kepada makanannya,” kata Aekanu.

Ia melanjutkan, akulturasi itulah yang kemudian melahirkan kuliner unik yang hanya ditemukan di Banyuwangi.

“Jadi intinya, orang Osing itu orang yang fleksibel, orang yang adaptif, orang yang menerima apapun. Saya yakin mereka mencoba (mencampur makanan), dan ternyata makanan itu enak dan menjadi popular,” lanjutnya.

Baca juga: 5 Tempat Makan di Banyuwangi Cocok untuk Keluarga Besar yang Mudik

Rujak Soto hingga Pecel Rawon

Dalam buku “Jendela Indonesia: Campur-Mencampur Ala Banyuwangi-an” (2021) yang disusun Litbang Kompas, dua makanan campur yang paling popular di Banyuwangi yaitu rujak soto dan pecel rawon.

Rujak soto merupakan campuran rujak ulek atau rujak cingur dengan kuah soto, sementara pecel rawon adalah perpaduan antara pecel khas Madiun dan rawon dari Surabaya.

Seporsi pecel rawon berisi nasi dengan sayuran rebus seperti bayam, taoge, dan kacang panjang yang dibalut sambal pecel. 

Baca juga: 7 Rekomendasi Kuliner Banyuwangi, Wajib untuk Dicoba

Lalu, semuanya disiram kuah rawon hitam dan diberi pelengkap seperti udang goreng, empal, ragi, paru goreng kering, serta rempeyek kacang.

Dengan kekayaan akulturasi rasa itu, kuliner Banyuwangi menunjukkan bahwa mencampur bukanlah simbol kekacauan, melainkan cara masyarakat merayakan keberagaman. 

Campuran bahan bukan hanya menciptakan cita rasa khas, tetapi juga menggambarkan identitas budaya yang terbuka dan fleksibel.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang