Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kuasai Tiga Bahasa, Inggris, Jerman, dan Prancis

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

buasaiJARUM jam sudah menunjuk pukul 05.00 pagi itu. Calon penumpang kereta api di Stasiun Karangasem mulai berlalu-lalang. Ada yang sedang memeriksa barang bawaan, ada pula yang hanya sekadar duduk santai di ruang tunggu.

Sebagian calon penumpang ada yang antre di depan loket. Beberapa calon penumpang yang hendak masuk ruang tunggu berhenti sejenak di pintu masuk guna membeli koran jawa Pos Radar Banyuwangi edisi hari itu yang dijual pria paro baya di sekitar pintu masuk.

Pukul 05.15 penumpang bergegas menuju peron dan naik ke gerbong kereta yang sudah standby. Lima belas menit kemudian, tepat pukul 05.30, kereta Tawang Alun jurusan Kota malang tersebut berangkat. Beny Mustafa Kemal, loper koran yang setiap hari menjajakan koran di kawasan itu, beranjak 30 menit usai keberangkatan kereta.

“Saya mau segera geser ke Lampu Merah Penataban,” ujar pria yang genap berusia 66 tahun pada lumat 20 Maret 2015 kemarin. Pria yang tinggal di Jalan Supriyadi, RT 01, RW 02, Kelurahan Penganjuran, Kecamatan Banyuwangi, itu berniat menjajakan koran yang belum terjual di sekitar Lampu Merah Penataban.

Begitulah aktivitas Beny setiap pagi. Tidak ada yang istimewa dari sosok Beny. Namun, siapa sangka pria beranak empat itu ternyata menguasai tiga bahasa asing, yakni Inggris, jerman, dan Prancis. Beny telah lama mendapatkan kemampuan tersebut sejak bergabung dengan perusahaan pengeboran minyak milik asing sebagai interpreter atau penerjemah bahasa.

Namun, beberapa tahun belakang ini Beny jarang menggunakan kemampuannya tersebut secara penuh. Sesekali hanya ia gunakan untuk menyapa turis asing yang berada di stasiun. “Pekerjaannya dulu memang membutuhkan kemampuan berbahasa asing,” ujar Beny.

Putus kuliah saat semester dua pada tahun 1966, ia segera mencari pekerjaan untuk bisa menghidupi dirinya sendiri. Beruntung, pendidikan tingkat SMA ia habiskan di Methodist English School yang fokus pada bahasa Inggris dan Prancis.

Pria asal Palembang itu memutuskan hengkang dari Universitas Trisakti jurusan hukum lantaran orang tuanya meninggal. Tiga tahun kemudian, ia menemukan pekerjaan untuk menutupi biaya hidup. Tahun 1969 Beny diterima di perusahaan asing milik WNA asal Amerika yang bergerak di bidang pengeboran minyak.

“Walau itu lokasi awalnya di Palembang. kemudian berpindah ke Jambi dan Pekanbaru,” beber Beny. Usai kontraknya habis selama setahun, ia berpindah ke perusahaan yang bergerak di bidang yang sama. Hanya saja lokasinya di Kalimantan.

Karirnya kian membaik. Pada tahun 1970 dia pindah ke Timur Tengah dan Beny masih diandalkan menjadi interpreter oleh pemilik perusahaan. Selama tiga tahun perusahaannya melenggang di beberapa negara, diantaranya Saudi Arabia, Kuwait, Iraq, dan lran. Setelah masa kontrak habis, Beny memutuskan kembali ke tanah air.

Pulang ke tanah air, dia memutuskan bekerja di pabrik baja Krakatau Steel yang berada di Cilegon, Banten. “Waktu itu bos saya orang jerman. Meskipun kami berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, tapi kadang dia mencampur dengan bahasa jerman,” terangnya.

Dari situlah Beny belaiar bahasa Jerman. “Bahasa Jermannya memang tidak selancar bahasa Inggris,” kata pria yang menggemari lagu-lagu The Beatles itu. Tahun kedua bekerja di sana, Beny membuat kesalahan fatal akibat miskomunikasi dengan bosnya.

Kala itu bosnya memerintahkan Beny pergi ke batu-batuan. Namun, Beny justru melaksanakan perintah yang berbeda dari apa yang dimaksud bosnya. “Beny, please go to the stem right now.” kata Beny menirukan perintah bosnya waktu itu. “Saya kira stein yang dimaksud di situ adalah mandor bagian mekanik.

Kebetulan chip mecanic saat itu namanya Stein juga, jadi saya pergi ke sana. Mister Stein bingung saat saya temui. Ya saya bilang, kalau saya disuruh atasan saya. Mister Stein tertawa dan menghubungi bos saya. kemudian saya disuruh kembali ke tempat,” ceritanya sembari tertawa.

Di tempatnya semula, bosnya telah menunggu dengan wajalt marah. Mereka sempat berdebat sebentar. “Ya, saya bilang mengapa tidak mengatakan batu menggunakan bahasa inggris saja, yakni stone. Mana tahu saya kalau stein itu artinya juga batu.

Itu kan bahasa Jerman,” ceritanya lagi. Kemudian, tanpa basa-basi bosnya memerintahkan Beny menemui bagian personalia. ‘Saya dipecat,” tambahnya. Beberapa tahun kemudian, ia hijrah ke Surabaya dan bekerja di perusahaan konstruksi bangunan.

Saat itu, Beny kebingungan mencari pekerjaan. Sedikit nekat, ia mendatangi proyek bangunan dan mendatangi mandor pelaksana pembangunan. Alhamdulillah, ternyata mereka masih membutuhkan tenaga,” katanya.

Hingga terakhir ia dinobatkan menjadi pengawas pembangunan. Tahun 1980 karirnya di Surabaya usai. Ia mencoba peruntungan di Jawa Tertgah. Beny menghabiskan tahun 1990-an sebagai pegawai sipil di Datasemen Polisi militer (Denpom) Solo.

Awal tahun 2000-an: dia kembali ke Banyuwangi. “Sempat nganggur sampai tahun 2005. Tapi syukurlah, anak-anak sudah menamatkan kuliah,” katanya. Kemudian, pada tahun 2007 ia bergabung menjadi loper dari salah satu agen Koran Jawa Pos Radar Banyuwangi hingga hari ini. (radar)