Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Seminggu Meneliti, Temukan 150 Kata Beda Semantik

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Peneliti-bahasa-dari-Balai-Bahasa-Jawa-Timur-sedang-menjaring-data-di-Desa-Benelan-Lor,-Kecamatan-Kabat

BAHASA Oseng memang bahasa yang menarik, tidak hanya bagi orang luar Banyuwangi yang awam bahasa, tapi juga bagi para peneliti. Bukan hanya pada saat ini, tapi juga ratusan tahun lalu. Tercatat Zoet mulder pernah menginventarisasi kosakata bahasa Oseng, meski saat itu masih dianggap sebagai dialek.

Sementara itu, Balai Bahasa Jawa Timur bukan sekali dua kali mengirim peneliti ke Banyuwangi untuk meneliti bahasa Oseng. Baru-baru  ini balai bahasa yang mengayomi  semua bahasa daerah di Jawa Timur itu kembali mengirim peneliti ke  Banyuwangi.

Penelitian bertitel penelitian mandiri tersebut dilakukan selama seminggu pada 23-29 Mei. Daerah penelitian (DP) yang dipilih adalah Desa Benelan Lor, Kecamatan Kabat.  Penelitian dilakukan oleh Puspa Ruriana M.Hum.

Tujuannya untuk mengungkap perubahan makna, baik perluasan maupun penyempitan makna, pada kata yang sama atau mirip dalam isolek Jawa dan Oseng. “Penelitian kali ini merupakan kajian makna. Kajian fonologi dan leksikal sudah dilakukan  tahun lalu,” kata Puspa.

Sebab, menurut  Puspa, ternyata kata-kata yang sama antara isolek Oseng dan Jawa tidak sedikit yang maknanya berbeda. Tidak hanya perbedaan yang bersifat menyempit dan meluas, tapi juga banyak perbedaan  yang tidak bisa ditelusuri hubungan maknanya.

Misalnya kata “ngersulo” yang dalam bahasa Jawa berarti berkeluh kesah, sedangkan dalam isolek Oseng kata “ngersulo” berarti sakit hati. Selain ditemukan dua kata yang  maknanya berbeda jauh dan tidak bisa ditelusuri hubungannya, dalam isolek  Oseng dan Jawa juga terdapat kata-kata mirip yang maknanya beda tapi masih  bisa ditelusuri hubungannya.

Misalnya,  “loro” yang artinya sakit. Dalam isolek Oseng, kata “loro” hanya bisa disandangkan kepada orang yang sakit parah dan dalam waktu yang sudah lama. Sakit ringan  disebut “kademyan”, dan jika sedikit parah  disebut “warang”.

Sementara itu, dalam isolek Jawa, kata “loro” bisa disandangkan kepada orang yang sakit ringan hingga berat, baik yang baru sakit maupun yang  sudah lama. “Dalam isolek Jawa tidak  dikenal istilah kademyan dan warang,” tambah peneliti asal Magetan tersebut.

Dalam penelitian kali ini Puspa Ruriana ingin mengungkap perbedaan-perbedaan  itu. Sebab, selama ini tidak  sedikit peneliti yang menganggap isolek Oseng sekadar dialek dari bahasa Jawa. Tetapi, sepertinya dari sekian  peneliti itu belum pernah ada yang melakukan kajian semantik. Padahal  itu sangat penting dalam menentukan  status sebuah isolek.

“Karena kalau kata-katanya sama tapi maknanya beda, berarti itu kata yang berbeda,”  jelas perempuan berkerudung itu. Apalagi, kenyataan di lapangan, saat berkomunikasi, pengguna isolek Jawa tidak bisa memahami dengan baik  bahasa yang digunakan pengguna  isolek Oseng.

Padahal, kalau benar-benar dialek, seharusnya isolek Oseng bisa dipahami dengan baik oleh pengguna isolek Jawa. “Sebetulnya sebagai dialek maupun bahasa, itu tidak menjadi soal. Peneliti hanya meneliti. Namun, harus bisa  dipertanggungjawabkan. Jangan sampai  menganggap dialek tapi dalam berkomunikasi ternyata kita tidak bisa memahaminya. Juga jangan sampai  me nyebut bahasa jika isinya ternyata  tidak ada bedanya,” ujar alumnus Unair Surabaya itu diplomatis.

Puspa menjelaskan, seperti pada  penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian kali ini dirinya masih menyebut  Oseng sebagai isolek. Hal itu karena  dirinya tidak ingin masuk pusaran “saling klaim” antara bahasa dan dialek.

“Isolek itu kekhasan berba hasa yang statusnya  belum ditentukan,” katanya.  Selain itu, Puspa menjelaskan dalam penelitian kali ini dirinya masih menggandeng Pusat Penelitian Bahasa Oseng (PPBO) sebagai partner. Alasan  dipilihnya PPBO sebagai partner, karena PPBO dianggap lebih memahami  karakteristik dan gejala-gejala kebahasaan  yang terjadi di lapangan.

Apalagi, seorang peneliti memang  sangat butuh informasi dan pendampingan  orang-orang lokal demi terlaksananya penelitian dengan baik dan  hasilnya mendekati kebenaran. Menurutnya, dalam menggandeng  PPBO, banyak keuntungan yang didapat.

Pertama, dia memahami bahwa ternyata hampir semua pengguna bahasa  Oseng adalah dwibahasa. Da lam berkomunikasi dengan orang lebih tua dan baru dikenal, ternyata pengguna bahasa Oseng selalu menggunakan  bahasa Jawa. Selain karena malu, juga  karena menggunakan bahasa Oseng  dianggap tidak sopan. Dengan demikian, teknik wawancara sangat tidak tepat digunakan dalam meneliti bahasa Oseng.

Kedua, mengenai daerah penelitian. Selama ini penelitian bahasa Oseng hanya terfokus pada Desa Kemiren dan Desa Olehsari. Masyarakat kedua desa tersebut  memang pengguna bahasa Oseng aktif  dan merupakan kawasan desa adat. Tetapi, dalam penelitian bahasa standar, hal itu sebetulnya belum  cukup. Banyak syarat lain yang harus  dipenuhi.

“Dan yang memahami semua itu hanya peneliti bahasa. DP sebaiknya  juga relik,” kata Puspa.  Ketua PPBO, MH. Qowim, membenarkan bahwa dirinya memberikan beberapa saran kepada peneliti. Pria yang juga editor bahasa Jawa Pos Radar Banyuwangi  (JP-RaBa) itu menjelaskan bahwa  selama ini banyak kesalahan yang dilakukan para peneliti bahasa Oseng.

Itu disebabkan mereka tidak memahami karakter dan gejala bahasa yang  muncul di tengah masyarakat. Mereka juga kerap salah menentukan teknik dan instrumen. Akibatnya, hasil penelitian  mereka jauh dari empiris. “Hal itu sudah pernah saya sampaikan pada Seminar Nasional Mempertegas  Perbedaan Bahasa Oseng dan Jawa 14  Desember 2015 lalu di pendapa,” katanya.

Namun demikian, MH. Qowim menyatakan  dirinya hanya memberi saran sebelum penelitian dilakukan. Saat penelitian di lakukan, “kekuasaan” ada di tangan peneliti. “Saat melakukan penelitian, peneliti tidak boleh dipengaruhi,”  tegasnya.

Sudah semestinya informasi tentang  bahasa dan keadaan masyarakat yang  diteliti harus diketahui para peneliti   sebelum melakukan penelitian, agar peneliti dapat menentukan teknik,  instrumen, dan berbagai hal menyangkut  penelitian dengan baik. Sebab, dua pengguna bahasa yang  karakter kebahasaannya berbeda tidak  bisa diteliti dengan cara yang sama.

Kemudian, dari sekian banyak kata yang dijadikan instrumen penelitian dalam penelitian kali ini, sedikitnya  terjaring 150 kata sebagai data. Sekian  kata itu adalah kata-kata yang sama dan mirip tapi beda makna. Juga kata  yang sama tapi maknanya jauh berbeda.

Sementara itu, Desa Benelan Lor dipilih sebagai DP karena desa tersebut dianggap  memenuhi syarat sebagai lokasi penelitian  bahasa Oseng. Dijelas kan, seluruh  warga Desa Benelan Lor menggu nakan bahasa Oseng aktif, bahasa Oseng sebagai bahasa ibu, mobilisasi masyarakat rendah,  minim pernikahan silang adat,  dan desa terbentuk sejak zaman Kerajaan Macan Putih.

Bahkan, Desa Benelan Lor bisa dianggap paling memenuhi syarat setelah Dusun Kertosari, Desa Gombolirang.  Saat dikonfirmasi JP-RaBa, perangkat  Desa Benelan Lor, Budi Hartono, membenarkan hal itu.

“Saya sebetulnya  bingung dengan kebiasaan peneliti  melakukan penelitian di seputaran  kota. Padahal, Kerajaan Macan Putih itu di sekitar sini, jadi di sini ini relik yang harus diteliti,” kata pemilik akun  Budi Ta Budi itu. (radar)