Isi Ketupat Identik Nasib Tahun Depan
Banyuwangi memang kaya tradisi. Salah satunya adalah ritual Gelar Pitu yang digelar masyarakat Dukuh Kopen Kidul, Dusun Kampungbaru, Desa/Kecamatan Glagah. Ratusan ketupat yang disusun me nyerupai gunung diarak ke liling Dukuh Kopenkidul, Dusun Kampungbaru, Desa/Kecamatan Glagah, Banyuwangi, sore itu (14/8). De ngan cara ditandu, ketupat yang oleh warga dikenal dengan istilah ku pat gunung itu dibawa ke makam le luhur warga setempat, yakni Buyut Sa ridin.
Usai didoakan di makam yang berjarak sekitar dua kilometer dari permukiman warga itu, kupat gu nung itu dibawa kembali ke depan musala setempat. Sejurus kemudian, warga sekitar me ngeluarkan ancak berisi kupat lodo (ketupat dengan lauk ayam yang dimasak bumbu hijau) dari ru mah masing-masing. Kemudian, ku pat lodo itu diletakkan berjajar di sepanjang jalan utama Dukuh Ko pen Kidul. Lantas, seorang tokoh adat memimpin doa.
Usai ber doa, warga sekitar dan seluruh pe ngunjung menyantap hidangan kupat lodo tersebut. Setelah itu, warga bergeser menuju satu titik, tepatnya di tengah jalan depan musala, tepatnya di lokasi ku pat gunung diletakkan Beberapa menit berselang, ketua adat Du kuh Kopen Kidul, Sanusi, memberi abaaba agar warga siap memperebutkan kupat gunung tersebut. “Allahumma Solliala Muhammad,” kata Sanusi yang seketika disambut warga dengan “serbuan” ke arah kupat gunung tersebut.
Nah, di sinilah uniknya. Betapa tidak, ke tupat yang awalnya diisi seragam uang seribu rupiah, tapi sesampai di ta ngan warga, isi ketupat hasil rebutan itu bervariasi. Ada yang mendapat ketupat berisi uang Rp 10 ribu, ada yang dapat ketupat berisi Rp 5 ribu, ada juga ketupat yang isinya te tap seribu rupiah. Warga setempat percaya, isi ketupat tersebut merupakan ramalan nasib mereka se lama setahun ke depan. Semakin besar jum lah uang yang didapat, semakin lancar re zeki mereka.
Sebaliknya, mereka yang men dapat ketupat berisi uang dengan no minal kecil, diprediksi selama setahun rezekinya akan seret. Namun, menurut Sanusi, isi ketupat yang didapat warga itu bukanlah ramalan. Menurut ketua adat tersebut, isi ketupat tersebut menunjukkan hal yang sebenarnya terjadi. “Sebenarnya bukan meramal, tapi menunjukkan yang sebenarnya. Ada yang dapat Rp 5 ribu, ada juga yang dapat Rp 1.000. Rp 5 ribu kan lebih banyak dari Rp 1.000.
Jelas yang dapat Rp 5 ribu itu re zekinya lebih melimpah daripada yang hanya dapat Rp 1.000,” jelasnya. Ritual Gelar Pitu yang dilaksanakan war ga Dukuh Kopen Kidul secara turun-te murun sejak awal abad IX itu rupanya me narik perhatian warga seantero Bumi Blam bangan. Bahkan, tidak sedikit warga asal luar daerah yang rela menempuh per ja lanan ratusan hingga ribuan kilometer (Km) hanya sekadar menyaksikan ritual ter sebut dari dekat dan ikut berebut kupat gunung.
Salah satunya Putri, remaja asal Bogor, Jawa Barat. Perempuan yang satu itu me ngaku sengaja jauh-jauh datang ke Ba nyuwangi hanya menyaksikan ritual ter sebut. “Katanya pengunjung yang datang akan mendapatkan sesuatu dari desa ini (Du kuh Kopen Kidul), misalnya rezeki yang melimpah, hama yang menyerang ke bun-kebun bisa lenyap, dan dapat jodoh. Makanya saya tertarik datang ke sini,” kelasnya. Sama seperti pengunjung lain, Putri juga ikut berebut kupat gunung.
Sayang, dia ti dak bersedia membeber berapa nominal uang yang didapat dalam ketupat yang berhasil dia raih. “Saya dapat dua ketupat,” ujarnya tanpa menyebut berapa nominal uang isi masing-masing ketupat tersebut. Sementara itu, ritual Gelar Pitu tersebut sebenarnya dimulai sejak pagi hari. Rang kaian kegiatan diawali dengan upacara mendak tirta (mengambil air suci) di sum ber air yang berlokasi di tepi sungai.
Air tersebut digunakan untuk menyucikan barong, omprog (mahkota) seblang, dan kupat gunung sebelum diarak keliling dukuh. Sanusi mengatakan, ritual Gelar Pitu dilaksanakan dengan tujuan melestarikan tra disi leluhur. Dijelaskan, kata gelar berarti me nata atau menggelar, sedangkan kata pitu berarti pitutur alias perkataan atau wejangan. Jadi, ritual Gelar Pitu bermakna menata ucapan Buyut Saridin yang telah memberikan tujuh wejangan kepada keturunannya.
Salah satu wejangan itu adalah agar keturunan Buyut Saridin melaksanakan sedekah bumi yang dilaksanakan di halaman rumah atau di tengah jalan. Menurut Sanusi, ritual mendak tirta, kirab kupat gunung sampai ke makam Buyut Saridin, dan sedekah bumi di tengah jalan, memiliki makna yang cukup dalam. “Maknanya, jika kita punya kelebihan rezeki, bisa dibagikan kepada orang yang lewat di jalan. Itulah nilai sosialnya. Apabila ada kekurangan, mintalah kepada orang yang lewat. Itulah nilai kejujuran,” pungkasnya. (radar)