Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kisah Korban Tsunami Pancer 1994, Tergulung Ombak hingga Tertimbun Reruntuhan Rumah

Suwoto
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Suwoto

BANYUWANGI – Jumat 3 Juni 1994, silam, sekitar pukul 02.00 WIB, amukan gelombang tsunami melumat permukiman nelayan di kawasan pantai selatan Banyuwangi.

Meski hampir 25 tahun berlalu, peristiwa nestapa itu masih tersimpan kuat dalam ingatan mereka yang selamat dari amukan gelombang dahsyat.

Amukan gelombang tsunami itu melumat permukiman nelayan di sejumlah pantai. Diantaranya Pantai Rajegwesi, Pancer, Pulau Merah, Lampon di Kecamatan Pesanggaran. Dan Pantai Grajagan di Kecamatan Purwoharjo.

Namun yang paling banyak menelan korban jiwa ada di Pantai Pancer, Pulau Merah, Lampon dan Rajegwesi. Total 229 nyawa melayang. Sedangkan di Pantai Grajagan 2 orang tewas. Sebab itu juga, tugu peringatan tsunami Banyuwangi didirikan di Dusun Pancer Desa Sumberagung.

Sayangnya, tanggal kejadian yang terukir di prasasti peringatan tersebut keliru dalam penulisan. Disana semestinya terukir tanggal 3 Juni, bukan 2 Juni. Namun, warga tak berani protes dimasa tersebut.

Sumiyah, 54, salah seorang warga Dusun Pancer, RT 04 RW 02, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran mengatakan, saat peristiwa tsunami malam itu dia sedang terlelap bersama dua putrinya Sri Nurwati dan Ernawati.

Saat itu, Sri Nurwati anak sulungnya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD), sementara adiknya Ernawati masih kelas satu SD. ”Dulu anak saya masih kecil-kecil,” ungkapnya.

Tengah malam saat tengah tidur lelap, dia terbangun setelah mendengar suara gemuruh seperti ombak pasang air laut. Dia bergegas membangunkan Suroso, suaminya yang berada di kamar sebelah tempat tidurnya.

Tak lama setelah membangunkan suaminya itu, air laut tiba-tiba datang menghempas seisi rumah. ”Rumah saya dulu cukup dekat dengan pesisir, ada sekitar 200 meteran,” kenangnya.

Dia bersama suaminya hanyut terbawa derasnya air laut. Bahkan, dia sudah tidak tahu lagi bagaimana kondisi kedua putrinya yang sempat tidur bersamanya malam itu. Dia terpisah dengan kedua putrinya yang terdengar berteriak minta tolong.

”Kondisi gelap, suami saya sempat menarik saya untuk pegangan pada debog pisang,” tuturnya.

Dengan sekuat tenaga, dia bersama sang suami mencoba untuk bertahan hidup di antara kepungan pasang air laut. Tanpa terasa ternyata dia berada di bawah reruntuhan bangunan dan terseret cukup jauh dari rumah tempat tinggalnya.

”Saya tertimbun reruntuhan rumah, perahu, jukung, pokoknya macam-macam sudah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Setelah sekitar dua jam berselang, dia mulai berhasil menyelamatkan diri bersama suaminya. Namun, dia teringat pada kedua putrinya. Seketika itu juga dia langsung berdiri dan berupaya mencari keberadaan kedua putrinya.

”Saya memanggil-manggil nama anak saya. Sri, Erna, nang ndi kowe, Nduk (Sri, Erna di mana kamu berada),” ungkapnya kala itu sambil terus berjalan.

Dia terus berupaya mencari keberadaan putrinya di tengah kegelapan. Ketika dipanggil itulah kedua putrinya menjawab. Itu pun sudah menjelang subuh. Kedua putrinya ditemukan tertimbun reruntuhan bangunan rumah.

”Suami saya sempat cari gergaji untuk evakuasi kedua anak saya karena kakinya terjepit. Begitu tahu selamat langsung saya gendong dan saya bawa lari ke masjid,” kenang nenek lima cucu ini.

Setelah pagi dan ada sinar matahari, barulah diketahui jika di lokasi itu sudah banyak mayat bergelimpangan. ”Alhamdulillah, saya masih diberi keselamatan bersama suami dan kedua anak saya hingga hari ini. Makanya tadi waktu simulasi saya nangis sungguhan karena teringat kenangan 25 tahun silam saat menyelamatkan anak saya dan banyak korban meninggal dunia,” terangnya.

Saksi selamat dan masih hidup lainnya adalah Suwoto. Kakek berusia 80 tahun ini mengungkapkan, ketika kejadian tsunami Pancer 25 tahun silam dia masih terjaga. Sebagai Ketua RT, dia baru saja patroli ke rumah warga dan bengkel perahu tempatnya bekerja.

Baru saja hendak meletakkan kepala di atas bantal tempat tidur, dia mendengar suara gemuruh yang amat keras. Air laut sudah masuk ke dalam rumahnya setinggi mata kaki. Tak berselang lama langsung diterjang air yang sangat dahsyat. Beruntung, dia masih sempat terbangun dari ranjang dan berpegangan pada debog pisang. ”Saya terseret cukup jauh, karena airnya memang sangat tinggi,” ujarnya lirih.

Menurut Suwoto, hampir seluruh rumah penduduk di kawasan Pancer hancur dan rata dengan tanah. Yang tersisa hanya beberapa bangunan saja. Salah satu tempat yang masih tersisa utuh dan justru tidak terkena amukan gelombang tsunami adalah Masjid At Taqwa yang berada di tengah permukiman penduduk. ”Semua warga dulu berkumpul ya di masjid ini,” katanya.

Musibah tsunami tersebut juga menjadi perhatian nasional. Kala itu Presiden Republik Indonesia Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko juga terjun langsung ke Pantai Pancer melakukan kunjungan ke lokasi bencana tsunami Banyuwangi dan membawa bantuan. ”Saya masih ingat saat itu hari Jumat Pon,” imbuh Suwoto.

Kenangan 25 tahun silam itu juga masih melekat pada ingatan Sumiyati, 35. Ketika itu dia masih berusia 10 tahun. Dia bersama tiga saudaranya terlelap tidur. Tak terasa dia terbawa derasnya gelombang pasang air laut. ”Saya tidur, begitu bangun sudah minum air laut yang bercampur solar, lumpur,” katanya.

Saking dahsyatnya amukan gelombang pasang air laut, dia yang semula mengenakan pakaian tanpa dia sadari hanya tersisa celana dalam yang dia kenakan. Bahkan, akibat peristiwa itu adik kandungnya juga meninggal dunia karena terkena reruntuhan bangunan.

”Saya ketika itu tertimpa reruntuhan rumah. Subuh baru ditemukan warga dan ditolong dan dievakuasi ke masjid,” ungkapnya.

Setelah dievakuasi ke masjid itulah dia baru bertemu dengan Sutomo ayahnya dan Painten Ibunya. ”Nunuk adik kandung saya meninggal dunia. Saat itu dia masih sangat kecil kira-kira masih usia lima tahun,” terangnya.

Karena terlalu banyak minum air laut yang sudah bercampur solar, dia mengalami sesak napas hingga akhirnya di rawat ke Puskesmas Pesanggaran dan dilarikan ke Rumah Sakit Daerah Umum (RSUD) Banyuwangi.

”Saya dulu dirawat di Banyuwangi karena sesak napas. Sepanjang jalan banyak mayat berserakan,” kenang ibu dua tiga ini.

Dengan adanya simulasi bencana tsunami, Sumiyati mengatakan bahwa seolah dia kembali pada memori 25 tahun silam. Yang terpenting baginya, ketika terjadi bencana semua peralatan bisa berfungsi dengan baik. Sehingga, warga bisa mengetahui lebih awal jika ada tanda-tanda terjadinya tsunami.

”Kalau dulu peralatan masih belum canggih, dan terjadi malam hari saat orang sudah tidur semua. Jika sekarang alat sudah canggih, orang bisa ada kesempatan menyelamatkan diri terlebih dahulu. Sehingga tahu apa yang harus dilakukan,” tandasnya.