DESA Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, termasuk daerah yang lokasinya di lereng Gunung Raung. Desa yang berbatasan dengan hutan milik Perhutani KPH Banyuwangi Barat itu memiliki banyak situs bernilai sejarah cukup tinggi.
Di desa itu ada petilasan Maharesi Markandeya, salah satu resi yang diyakini sebagai penyebar Hindu pertama di Jawa. Beberapa tempat peribadatan untuk mengenang keberadaan orang suci itu juga banyak di desa itu, seperti Beji, Pura Gumuk Kancil, dan yang paling mudah dijangkau adalah Pura Girimulyo.
Di sisi timur Pura Girimulyo, umat Hindu sedang membangun tempat suci baru yang di anggap bersejarah. Tempat itu diyakini petilasan Prabu Bhima Koncar atau yang dikenal dengan nama Minak Sumedhe, atau Dalem Sri Juru, raja Blambangan VIII dari raja pertama Arya Wiraraja.
Bangunan petilasan itu terdiri atas dua bagian utama, yakni bangunan yang memiliki empat pilar utama memayungi sebongkah batu besar dengan patung raja yang diidentikkan Prabu Minak Koncar. Secara arsitektur, bangunan yang dipagari dinding bata merah itu me madukan unsur Bali dan Jawa.
Bentuk atap lebih condong ke model Jawa, tapi bagian pelengkap, seperti plangkiran di salah satu pilar cukup kental unsur Bali. Sementara itu, bangunan lain merupakan pura petilasan Prabu Blambangan. Proses penemuan situs itu setelah melalui berbagai proses.
Keterangan Slamet, 52, pangempon tempat itu, mengatakan salah satu tokoh kampung yang juga pemangku pura, yakni almarhum Pinandita Pemangku Satra, menyampaikan lokasi itu merupakan petilasan orang besar. “Tidak dijelaskan siapa orang besar itu,” katanya.
Lokasi itu dulu hanya diberi tetenger. Kemudian, setelah banyak rombongan dari anak turun Raja Blambangan yang tinggal di Bali, ditambah berbagai kajian baik sejarah maupun spiritual, akhirnya lokasi itu diduga petilasan Sri Juru.
“Sejak awal Pak Mangku Satra sudah punya wisik (bisikan) bahwa tempat itu merupakan petilasan,” ujarnya. Nyoman Suasa yang kini mejadi mangku anom di pura petilasan itu mengungkapkan, petilasan itu merupakan pamereman atau makam raja Blambangan VIII yang gugur dalam pertempuran.
Dari cerita yang berkembang, raja Blambangan itu gugur saat ber empur dengan Patih Kebo Ularan. Patih itu merupakan tangan kanan Prabu Dalem Watu Renggong, raja yang berkuasa di Kerajaan Klungkung saat itu. Pertempuran itu sebenarnya karena salah paham di antara keduanya.
Padahal, saat itu perintah Prabu Watu Renggong kepada patihnya meminta Prabu Sri Juru menikahi adiknya. “Intinya, Patih Kebo Ularan diperintah mengajak raja agar bersedia menikahi adik raja Klungkung. Tapi karena ada salah paham hingga beradu kesaktian, menyebabkan raja Blambangan gugur,” terang Nyoman Suasa.
Dalam pertempuran itu, raja Blambangan dipenggal. Tubuhnya dimakamkan di petilasan di Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore. Kepalanya dibawa ke Bali untuk dijadikan bukti. “Raja Klungkung marah, sampai saat ini semacam ada perasaan bersalah dari anak keturunan raja Klungkung,” ucap Nyoman.
Dengan adanya petilasan raja Blambangan itu, anak turun raja Blambangan menjadi lega. Mereka tidak lagi bingung mencari jejak leluhurnya. “Para keturunan raja Blambangan VII sering datang,” katanya. Keberadaan situs ini dinilai sangat bermanfaat untuk kegiatan pendidikan dan mengenal sejarah leluhur Blambangan.
Tidak hanya umat Hindu, semua warga di Banyuwangi harus memiliki kepedulian terhadap sejarah leluhur dengan menjaga situs itu. “Semua boleh ke sini, tidak hanya umat Hindu,” ungkapnya. Terkait biaya pemugaran, semua dana masih diambil dari Pasemetonan Ageng Dalem Blambangan, yakni anak cucu raja Blambangan yang ada di seluruh Nusantara, khususnya di Bali.
“Kegiatan pembangunan ini masih ditanggung umat dan anak keturunan raja Blambangan di jagat raya,” ucapnya. (radar)