Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Made in BWI Tembus Prancis

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

madeTIDAK bisa dimungkiri, nilai estetika pada setiap karakter wayang kulit begitu tinggi. sunggingan (pahatan) yang begitu detail, ditambah corak warna yang memesona semakin memperkuat kesan luks pada salah satu jenis benda seni asli Nusantara tersebut. Bahkan, UNESCO, salah satu lembaga di bawah  naUngan Persatuan Bangsa-Bangsa(PBB) telah mengakui pertunjukan wayang kulit sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 7 November 2003 silam.

Nah, berkaca pada kenyataan tersebut, masyarakat Banyuwangi tampaknya bisa turut berbangga. Sebab, salah satu putra Bumi Blambangan, yakni Eko Santoso, 35, termasuk salah satu seniman pembuat wayang kulit yang kualitasnya diakui di level nasional hingga internasional.  a, wayang kulit hasil karya Eko telah sukses merambah Benua Biru Eropa, khususnya di Negara Prancis.

Sekitar Februari 2013 lalu, turis asal negara yang tersohor dengan menara Eiffel tersebut, memborong wayang kulit buatan tangan warga Lingkungan Sukowidi, Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi tersebut. Wayang kulit karakter Hanoman dan Werkudara, itu pun dibawa pulang turis tersebut ke negara asal nya. Tidak hanya itu, wayang kulit hasil kreasi ayah seorang putri ini juga telah “malang melintang” di sejumlah kota di tanah air.

Baik para dalang maupun pengoleksi wayang kulit asal Jakarta, Surabaya, dan sejumlah kota besar yang lain, tidak sedikit yang membeli benda seni karya Eko Namun, keahlian membuat wayang kulit yang dimiliki Eko itu tidak datang secara tibatiba. Sebaliknya, meski mengaku keahlian membuat wayang itu dia peroleh dari garis ke turunannya, Eko tetap intens mengasah kemampuan. Dia rutin membuat wayang kulit sejak masih duduk di bangku ke las empat sekolah dasar (SD).

Dikatakan, kepiawaian membuat wayang kulit diperoleh secara turun-temurun sejak 12 generasi sebelum dirinya. Kakek-buyutnya, yakni dalang Djuhadi; kemudian kakeknya yang bernama dalang Djaeno; dan ayahnya, Sutrisno, merupakan pembuat wayang kulit sekaligus perajin omprog (mahkota) penari gandung. ”Saya sendiri sudah belajar membuat wayang kulit sejak kelas empat SD,” ujarnya.

Eko mengaku tidak ingin setengah- setengah dalam mengkreasi wayang kulit. Karena itu, mulai bahan baku hingga pengerjaan finishing dilakukan dengan seksama. Menurut Eko, bahan baku yang digunakan membuat wayang adalah kulit sapi jenis Rambon Jawa. Ketebalan kulit sapi Rambon Jawa dinilai paling pas sebagai bahan baku wayang kulit. Sebab, jika menggunakan kulit sapi jenis Limousin terlalu tebal. Sejak saat kulit sapi diperoleh, perlakuan ekstra ketat pun dilakukan.

Mulai proses pengeringan, pembuatan pola, pengerjaan sunggingan, hingga pewarnaan, dia lakukan dengan sangat hati-hati. “Pembuatan pola harus dilakukan dengan cermat. Siku atau bentuk wayang harus benar-benar diperhatikan. Selain siku, cara membedakan wayang yang berkualitas baik atau sebaliknya, bisa diteliti dari halus atau tidaknya sunggingan.

Halus atau tidaknya sunggingan bisa dilihat dengan jelas dari bayangan wayang tersebut,” paparnya. Pamor atau corak wayang juga menjadi salah satu pembeda antara wayang yang berkualitas baik dengan yang tidak. Menurut Eko, walaupun cat yang digunakan sederhana, asal kan penerapannya tepat, warna yang dihasilkan dapat maksimal. “Corak warna yang di gemari adalah warna-warna cerah,” pungkasnya.

TAMPIL SEKALIGUS BELI PALU DI KALIMANTAN

RASA cinta Eko Susanto terhadap kesenian wayang kulit memang tak perlu di ragukan. Setidaknya, itu terbukti dengan totalitas pria yang satu ini dalam melestarikan warisan budaya leluhur bangsa tersebut. Ya, selain sibuk bergelut dengan proses pembuatan benda seni bernilai estetika tinggi itu, Eko juga berperan aktif dalam paguyuban wayang kulit. Sejak beberapa tahun yang lalu, Eko bergabung dengan paguyuban wayang kulit “Singo Kubro” pimpinan Ki Dalang Ju wito Gendeng.

Paguyuban tersebut bermarkas di Desa Sukorejo, Kecamatan Bangorejo, Banyuwangi. Uniknya, di paguyuban tersebut, Eko tidak hanya memegang satu peran. Se bab, selain didaulat menabuh drum tEnor sebagai bagian musik pengiring pertunjukan wayang kulit, terkadang Eko juga didaulat sebagai vokalis pria. Bah kan tak jarang, Eko dipercaya menjadi master of ceremony (MC) dalam per gelaran wayang kulit.

Meski dituntut bergadang semalam suntuk saat tampil, Eko mengaku mendapat kepuasan tersendiri dari aktivitasnya dalam pementasan wayang kulit. Apalagi, penghasilan yang diterima dari aktivitas tersebut lumayan besar. “Beberapa waktu yang lalu saya sempat be kerja sebagai pekerja di perusahaan per kapalan. Namun belakangan saya me milih menekuni pekerjaan membuat wayang dan aktivitas di paguyuban wayang kulit. Hasilnya lumayan kok,” paparnya.

Eko mengaku, baru-baru ini ikut mentas bersama paguyuban Singo Kubro di Kota Cilacap, Jawa Tengah (Ja teng). Selama lima hari di kota tersebut, yakni antara tanggal 18 sampai 22 Mei lalu, Paguyuban Singo Kubro tampil sebanyak tiga kali. Sekembali dari Cilacap, para anggota paguyuban wayang kulit itu langsung melanjutkan tour di Banyuwangi. Kali ini, mereka tampil di Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo, dan Desa Pedotan, Kecamatan Bangorejo.

Bahkan dalam waktu dekat, imbuh Eko, Paguyuban Singo Kubro akan tampil di wilayah Kalimantan Selatan. “Kami beberapa kali manggung di wilayah Kalimantan. Nah, kesempatan ke Kalimantan kali ini akan saya manfaatkan untuk membeli ganden (palu) yang terbuat dari kayu ulin. Sebab, kayu jenis tersebut sangat kuat, sehingga ganden tidak mudah rusak,’ pungkasnya.

PAKAI PELUMAS SARANG LEBAH PROSES

pembuatan yang sangat rumit, mengakibatkan harga jual wayang kulit sangat mahal. Bayangkan saja, untuk bisa membawa pulang satu unit wayang kulit, konsumen harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah. Eko Susanto mematok harga minimal Rp 500 ribu untuk satu tokoh wayang kulit hasil kreasinya. Sementara itu, harga gunungan atau yang di dunia pewayangan disebut Kayon dipatok dengan harga jauh lebih tinggi, yakni mencapai Rp 2,5 juta per unit.

“Bagi kami pribadi, gunungan sangat sakral. Bahkan sebelum membuat gunungan, saya harus berpuasa minimal sehari semalam,” ujar suami Sinta Nurmalasari, 25 tersebut. Untuk membuat satu karakter wayang, dibutuhkan waktu berhari-hari. Untuk menghilangkan bulu dan sisa da ging yang menempel, Eko langsung menggerinda kulit sapi kering yang dibeli dari tukang jagal sapi. Setelah kulit sapi tersebut benar-benar bersih dari bulu dan sisa daging, Eko lantas mengelap kulit tersebut dengan air panas.

Dijelaskan, proses pengelapan dengan air panas dilakukan agar kulit tersebut setengah matang. Tujuannya, kulit tidak lemas saat diukir. Terutama jika proses pengukiran dilakukan saat hujan kerap mengguyur seperti saat ini. Proses mengukir pun dilakukan beberapa tahap. Yak ni pembentukan pola dan pengukiran detail karakter wayang Pengukiran satu karakter wayang berukuran sekitar 75 centimeter (cm) itu memerlukan waktu antara tiga sampai empat hari.

Sementara itu, proses pengecatan untuk satu kArakter wayang berukuran standar, tersebut memerlukan sekitar satu pekan. “Proses pemahatan atau pengukiran pada wayang kulit, itu sebenarnya lebih tepat dinamai seni sungging. Sebab, seni pahat menggunakan media batu, sedangkan seni ukir menggunakan media kayu,” paparnya. Pengukiran detail wayang, pun memerlukan tatah (alat pahat) khusus.

Eko mengaku harus mengeluarkan budget sebesar Rp 400 ribu untuk membeli satu set tatah khusus tersebut dari se orang pandai besi asal Solo, Jawa Tengah (Jateng). “Tatah ini ter buat dari baja. Sebab kalau menggunakan besi, risikonya pahat bisa bengkok atau pecah,” tuturnya. Uniknya, setiap jenis ukiran pada karakter  ayang, harus dikerjakan dengan tatah yang berbeda. Dia mencontohkan, tatah untuk melubangi mata berbeda dengan tatah untuk melubangi rambut gelungan.

Pun demikian dengan tatah khusus yang hanya digunakan untuk membentuk pola awal karakter wayang tersebut. “Kalau salah penerapan, hasil ukiran akan kasar. Ujung-ujungnya kualitas wayang kulit yang di hasilkan turun,” jlentreh warga Lingkungan Sukowidi, Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi itu. Selain tatah, ganden (palu) yang digunakan untuk membuat wayang juga khusus. Palu tersebut terbuat dari kayu. “Kami butuh ganden yang ringan dan lebar,” tuturnya.

Masih kata Eko, untuk me mudahkan proses mengukir, dirinya menggunakan pelumas yang terbuat dari sarang lebah madu. Dikatakan, sebenarnya ada beberapa alternatif pelicin yang bisa digunakan, misalnya menggunakan lilin atau sabun. “Tetapi kalau pelicin menggunakan lilin, risikonya lilin tersebut mudah pecah. Sedangkan jika menggunakan sabun, risikonya kulit sapi yang diukir basah karena sabun mengandung air. Padahal kalau kena air, kulit sapi akan sulit diukir,” pungkasnya.

TERAPKAN DUA METODE PEWARNAAN

KECENDERUNGAN saat ini, para dalang maupun kalangan kolektor lebih gemar mengoleksi wayang kulit dengan warnawarna “menyala”. Nah, untuk mengakomodasi keinginan pasar tersebut, Eko lantas menggabungkan dua metode pewarnaan. Metode yang pertama adalah menambahkan efek warna emas dengan memanfaatkan prada (semacam stiker). Caranya, dia memoles wayang kulit setengah jadi dengan cat minyak warna putih sebagai dasar pewarnaan.

Selanjutnya, Eko menempelkan prada pada bagian kulit yang akan ditambahkan aksen warna emas. Langkah selanjutnya, Eko menyikat lapisan atas prada tersebut dengan sikat berukuran kecil. Setelah seluruh bagian para sudah menempel secara sempurna, barulah Eko melepaskan plastik pelindung sti ker tersebut. “Keunggulan pewarnaan meng gunakan prada adalah, dapat menutup pori-pori kulit wayang. Tidak hanya itu, warna prada juga lebih tahan lama, tidak cepat pudar,” ujarnya.

Selanjutnya, Eko menambahkan warna-warna lain, seperti merah, hijau, hitam, biru, dan lain sebagainya. Jenis cat yang digunakan adalah cat air Orang-orang seni lebih memilih warna-warna cerah,” tuturnya. Bahkan tak jarang, untuk memenuhi keinginan konsumen, Eko mengombinasikan dua merek cat berbeda untuk mendapatkan satu warna yang di inginkan. “Yang pasti, bagi saya merek cat yang di gunakan bukanlah hal yang paling utama. Sebab, meskipun merek cat yang digunakan “sederhana”, asal kan penerapannya tepat, hasilnya pasti maksimal,” cetusnya. (RADAR)