The Latest Collection of News About Banyuwangi
English VersionIndonesian
Social  

Kue “Neroko” Tradisional Khas Lebaran

Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

Sutriyah,-58,-warga-Dusun-Kunir,-Desa-Singojuruh,-Kecamatan-Singojuruh,-mengolah-kue-rokok-di-rumahnya

Lebih Banyak Pakai Tangan Ketimbang Alat Masak

SUDAH 20 tahun setiap tanggal 9 di Bulan Ramadan sebuah rumah yang ada di Dusun Kunir, Singojuruh Village, Singojuruh District, selalu penuh asap di siang hari. Sejak usai adzan Subuh, si pemilik rumah tak terlihat keluar hingga menjelang Maghrib.

Apparently, Sutriyah, 58, si pemilik rumah sedang mengerjakan sebuah proyek. Yaitu proyek membuat kue rokok yang harus diselesaikannya sebelum Lebaran tiba. Nenek tujuh cucu itu selalu dimintai tolong oleh tetangganya ketika Ramadan menginjak tanggal 9.

Dan selama 20 hari wanita tersebut terus mengolah kue itu di dalam rumahnya. Entah apa yang membuat para tetangganya masih mempercayakan Sutriyah untuk membuat kue. Padahal jika dibanding dengan buatan toko, kue rokok yang dibuat oleh Sutriyah sedikit lebih alot.

Pembuatannya pun masih menggunakan cara tradisional, yaitu dengan cetakan yang diletakkan di atas tungku kayu. Not again, karena semuanya nyaris dibuat secara manual, kadang Sutriyah sering molor ketika diminta membuatkan pesanan kue.

Tetapi tetap saja, orang-orang di sekitar tempat tinggalnya mempercayakan pesanan kue rokok atau istilah kerennya egg roll kepada janda empat anak itu. Alasannya menurut beberapa tetangganya, kue rokok yang dibuat Sutriyah lebih terasa daripada yang dibeli di toko.

“Jahenya terasa, gurihnya juga, kalau mau tambah rasa-rasa kita tinggal bawakan bahan sendiri. Mungkin karena masih masak dengan pawon rasanya lebih enak,” ujar Luluk, warga Dusun Kunir. Orang-orang yang memesan kue buatan Sutriyah rupanya juga tak hanya dari desa sekitar.

Beberapa pelanggannya dari desa sebelah yang sudah turun temurun memesan kue darinya juga masih mempercayakan pesanan kue Lebaran kepadanya. Jika dilihat dari cara pembuatannya, kue rokok yang dibuat oleh wanita yang bekerja sebagai buruh tani itu memang sedikit berbeda.

Untuk memanaskan cetakan kue, dirinya menggunakan tungku kayu yang terus membara. Jadi sejak usai salat subuh, Sutriyah sudah siap duduk di depan tunggu sambil memegang sebuah cetakan kue. Adonan sendiri sudah disiapkannya sembari sahur, jadi ketika sudah di depan tungku dirinya tinggal menuangkan saja ke cetakan.

Kemudian setelah adonan yang setengah lunak sudah cukup matang di cetakan. Sutriyah langsung mengambil adonan tersebut. Tak butuh spatula atau alat lainnya, dengan kecepatan yang diperhitungkan, adonan yang sebenarnya cukup panas itu langsung digulungnya dengan telapak tangan hingga berbentuk kue rokok pada umumnya.

Kue yang sudah digulung itu lalu ditumpuknya hingga dingin sendiri. Karena prosesnya yang membuat sekujur tubuhnya terasa panas, Sutriyah lebih suka menamai kue yang dibuatnya itu dengan kue “neroko”. “Ini apinya hidup terus dari pagi. Saya paling minggir sebentar untuk salat. Kalau ditinggal nanti malah tidak selesai-selesai," he said.

Ketika ditanya mengenai alat-alatnya yang masih tradisional, wanita murah senyum itu mengatakan, dirinya tidak biasa menggunakan kompor gas. Dulu sempat dirinya menggunakan kompor minyak, namun setelah minyak tanah hilang dia memilih kembali lagi menggunakan kayu.

“Saya juga sering cari kayu bakar, eman-eman kalau tidak dipakai,” kata Sutriyah. Even, alat cetak kue yang beratnya mencapai 5 kilogram dengan pegangan kayu tetap dipertahankannya selama puluhan tahun. The reason, dia sudah terbiasa dengan alat-alat itu, dia kawatir kalau harus menggunakan alat lain justru pembuatan kuenya akan semakin lama.

“Biar saya pakai cetakan sama tangan saja. Lebih cepat,” sahutnya. In a day, Sutriyah bisa menyelesaikan sampai 3 kilogram kue rokok/neroko. Untuk setiap kilogramnya, Sutriyah memperoleh upah Rp 20 thousand. Dengan bahan baku seluruhnya disiapkan oleh pemesan kue.

Rata-rata untuk setiap bulan Ramadan, ada delapan sampai 15 orang yang memesan kue tersebut kepadanya. Satu orang setidaknya memesan satu sampai lima kilogram kue rokok. “Yang pesan ini ya di makan sendiri, katanya tidak dijual lagi. Mereka bilang eman-eman, karena rasanya enak,he explained.

Sutriyah pun tidak tahu sampai kapan dirinya akan berjualan. Yang jelas selagi masih ada orang yang memesan kue, wanita yang tinggal seorang diri itu mengatakan akan tetap membuat kue neroko tersebut. (radar)