The Latest Collection of News About Banyuwangi
English VersionIndonesian
Social  

The Seven “Architects” of Traditional Music Behind the Success of the Lalare Orchestra

Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

dari-kiri-yons-dd-wanai-haidi-bing-slamet-saiful-ribut-kalembuan-kang-mul-dan-sayun-susiyanto

Sayun sampai Jatuh Sakit, Saiful Butuh Kesabaran

TANGAN bocah berusia 10 tahun itu begitu lincah menabuh kendang. Pukulan kendangnya membuat takjub penonton yang hadir. Di barisan lain, anak-anak begitu rancak memainkan angklung dan saron. Perpaduan kendang, angklung dan saron itu menghasilkan suara rancak yang enak didengar telinga.

Di tengah serunya anak-anak memainkan gamelan, seorang pria berdiri di depan seolah memberi aba-aba agar tabuhan gamelan berjalan serempak. Pria tersebut adalah satu dari sekian pelatih yang “mengarsiteki” penampilan Lalare Orkestra yang akan manggung di Gesibu nanti malam.

Anak-anak yang tergabung dalam Lalare Orkestra memang memiliki talenta luar biasa terhadap musik tradisional Banyuwangi. Meski punya talenta, tidak mudah mendidik mereka menjadi kompak memainkan musik tradisional berbentuk orkestra.

Butuh ketaletan dan kesabaran untuk menghadapi sikap para personel yang masih anak-anak tersebut. Di sinilah peran pelatih sangat penting. Tidak hanya sekadar memberi ilmu bagaimana cara bermusik yang benar. Mereka juga dituntut bisa ngemong agar anak-anak ini tetap semangat dan memilki mental yang kuat sehingga bisa menunjukkan pertunjukan yang atraktif.

Ada tujuh orang pelatih di balik suksesnya Lalare Orkestra. Mereka adalah Sayun Susiyanto, Yon’s DD, Saiful, Ribut Kalembuan, Haidi bing Slamet, Wanai, dan Kang Mul. Butuh banyak pelatih memang untuk membimbing Lalare Orkestra. Mereka juga memiliki spesifikasi melatih sendiri-sendiri kepada ratusan personel Lalare Orkestra.

Because, alat musik yang dimainkan Lalare Orkestra juga banyak. Ada kendang, angklung, saron, violin, kuntulan dan lain sebagainya. Karena orkestra, maka jumlah alat musik juga dibuat lebih banyak dibandingkan biasanya. Sayun, salah satu pelatih berbagi sedikit cerita selama menjadi pelatih Lalare Orkestra yang personelnya digawangi anak- child.

Menghadapi anak-anak tentu berbeda dengan melatih musisi tradisi yang sudah dewasa. Saat melatih musisi dewasa, dia bisa marah-marah jika terjadi kesalahan. Otherwise, kepada personel anak-anak, hal itu tidak boleh dilakukan karena bisa membuat mental anak menjadi down.

”Sesekali tegas boleh, tapi nggak boleh marah, kita harus ngemong,” tambah pria yang berprofesi sebagai guru kewarganegaraan di SMPN 1 Srono ini. Selama dua bulan menggembleng ratusan anak-anak, Sayun sempat jatuh sakit sebanyak dua kali.

Dia sakit lantaran tidak bisa melampiaskan amarahnya karena kebandelan anak-anak saat berlatih. Saat serius berlatih, sebagian anak-anak bergurau dengan memukul alat musik di luar irama yang ditentukan. Kondisi ini membuat kacau dan latihan harus diulang.

”Kadang mukul angklungnya ngawur sampai pecah bambunya. Mumet isun ngerasakaken lare-lare iki, isun sampe nggreges pindo (pusing merasakan anak-anak ini, saya sampai sakit dua kali),” ujar Sayun sembari terkekeh-kekeh. Terlepas dari itu, ada kebanggan tersendiri bagi Sayun melatih anak-anak.

Dia melatih personel Lalare Orkestra awal tahun 2015. Sayun mengaku bangga jika anak-anak mendapatkan panggung di hadapan masyarakat Bumi Blambangan. Sebagai musisi senior, dia ingin berperan agar musik tradisional tidak punah ditelan zaman dengan cara menularkan ilmunya kepada Lalare Orkestra.

”Lalare Orkestra ini merupakan sesuatu yang bisa dijadikan alat agar kita tetap mencintai musik tradisi. Ini tugas kita sebagai musisi senior untuk membimbing mereka agar menjadi yang lebih baik,” kata seniman musik tradisional asal Desa Mangir, Rogojampi this.

Rasa bangga ini juga diungkapkan Saiful, pelatih lainnya. Perlu kerja keras, sabar dan hati yang ikhlas untuk mendidik personel musik tradisional yang personelnya anak-anak. Saiful bersama Kang Mul yang bertugas sebagai pelatih angklung berharap Lalare Orkestra bisa dijadikan sebagai jembatan untuk menanamkan karakter atau jiwa bermusik tradisi kepada generasi penerus bangsa.

”Lalare Orkestra ini tidak hanya menampilkan musik, tapi juga menyajikan lagu-lagu yang di dalamnya terdapat syair-syair Banyuwangenan. Ini juga sebagai ajang mengenalkan budaya sejak dini kepada mereka. Ini yang membanggakan bagi kami,” kata pria yang juga berprofesi sebagai guru di SMPN 1 This Banyuwangi.

Yon’s DD, pelatih lainnya menambahkan, keberadaan Lalare Orkestra telah menghapus pemikiran dia selama ini yang menganggap bahwa musisi tradisi akan punah. Lalare Orkestra berhasil menjadi sebuah jawaban atas kegalauan dia selama ini akan punahnya musik tradisional.

”Ternyata pemikiran saya salah selama ini. Kekhawatiran akan tidak diminatainya musik tradisional ternyata sudah terjawab oleh hadirnya Lalare Orkestra,” kata pencipta lagu Layangan ini. Tidak dipungkiri memang mendidik anak-anak ini lebih sulit dibandingkan mendidik musisi tradisional dewasa.

Dia pun lebih mengutamakan menanamkan mental yang kuat kepada personel Lalare Orkestra agar anak tetap pede saat menyajikan suatu pertunjukan. Caranya diajak berdialog dengan baik dan tentunya dengan penuh kesabaran. Dia yang lebih condong melatih olah vokal para personel Lalare Orkestra berharap lebih kepada semua personel untuk tetap bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan selama ini.

”Artinya mereka tidak boleh berhenti di sini saja. Kalau sudah dewasa nanti mereka harus menjadi seperti kami dan terus mengenalkan serta mengajarkan musik tradisi Banyuwangi kepada orang lain. Ini tanggung jawab mereka” tandasnya.

Jika Yon’s DD lebih condong melatih olah vokal, untuk urusan perkusi termasuk kendang dan kuntulan, Haidi bing Slamet adalah ahlinya. Dia sebagai musisi kendang Banyuwangi sangat terharu kepada penampilan Lalare Orkestra ini. Bakat pemain kendang Lalare Orkestra ini tampaknya memang sudah ada sejak mereka lahir.

So, dia pun hanya perlu melatih kekompakan para pemain kendang saja, karena jumlah pemain kendang Lalare Orkestra ini ada enam orang anak. ”Kalau anak-anak bandel saat latihan itu wajar dan itu hanyalah sedikit kesulitan bagi kami. Anak-anak ini tergolong wajah-wajah baru dari kalangan SD dan SMP. Selama dua bulan berlatih mereka sudah berhasil menujuk kan yang terbaik,” kata pria yang tinggal di Desa Kemiren, Glagah ini.

Selain musik, Lalare Orkestra yang juga menampilkan gerakan tari-tarian ini juga dilatih langung oleh penari Banyuwangi senior yakni Wanai. Dalam konteks Lalare Orkestra ini, dia bertugas untuk melatih gerakan para pemain perkusi. Hal ini dilakukan agar pertunjukan Lalare Orkestra tidak monoton sajian musik begitu saja.

Pemain musik juga dituntut agar bisa mem beri kan sebuah sajian musik dan tari yang indah kepada seluruh pe nonton. ”Kalau yang sudah punya bakat menari enak, gampang melatihnya. Tapi kalau yang tidak ada bakat sama sekali pasti kaku gerakannya,” jelas pria yang tinggal di Desa Wonosobo, Srono ini.

Ribut Kalembuan, pelatih biola dan pengatur harmoni punya harapan lain pada Lalare Orkestra ini. Karena sudah berbentuk orkestra, besar harapan dia agarpara anak-anak ini nantinya juga bisa membaca not balok. Jika sudah mengenal not balok, anak-anak ini sendiri juga akan lebih terlihat lebih profesional di mata penonton dan juga bisa menjadi musisi tradisi yang elegan di mata umum.

”Itu cita-cita saya pribadi. Bermusik harus berkembang akan tetapi tidak meninggalkan cita rasa tradisionalnya,” kata pria yang tinggal di Lingkungan Klembon, Kelurahan Singonegaran ni. Melihat Lalare Orkestra, dia menilai bahwa musik tradisi bukanlah suatu kegiatan untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang saja. At the moment, dia melihat bahwa bermain musik tradisi adalah suatu gaya hidup yang sangat menarik dan prestise bagi masyarakat.

”Mudah-mudahan ke depan Lalare Orkestra ini benar-benar Nyerambah Jagat seperti apa yang diusung dalam tema," he concluded. (radar)