Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Spare Part kian Sulit, Bikin Suku Cadang Sendiri

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

loncengUSIANYA sudah nyaris satu abad. Rambutnya sudah memutih. Diajak bercakap-cakap pun sudah tidak terlalu ngeh. Kadang lawan bicaranya harus mengulang kata agar Mbah Badawi mengerti. Namun, tentang reparasi jam lonceng.

Badawi masih sanggup melakukannya dengan baik. Ndak hanya piawai memperbaiki jam lonceng, pria kelahiran 10 Februari 1933 itu juga mahir memperbaiki jam tangan analog.

Saat jawa Pos Radar Banyuwangi mengunjungi kediamannya di Dusun Kedungliwung, RT 03/RW 01, Desa Kemiri, Kecamatan Singojuruh, Rabu sore (18/3), Badawi tengah sibuk mengulak-alik jam lonceng milik kliennya.

Tangannya masih cukup cekatan memutar obeng untuk memasang baut-baut kecil di mesin jam tersebut. Cukup lama Wartawan koran ini mengamati Badawi bekerja. Sesekali dia membetulkan posisi kaca mata yang dia kenakan Sesekali pula dia mencopot kaca mata tersebut dan memilih menggunakan lup atau kaca pembesar.

“Ya begini ini. Mata saya sudah tidak seperti dulu. Dulu saya masih bisa memperbaiki jam lonceng dengan telanjang mata. Sekarang sudah tidak bisa lagi,” ujarnya dalam bahasa Oseng. Tidak ingin kerja Badawi terganggu, saya memutuskan menunda wawancara dengan suami Sunanti tersebut.

Saya memilih mengamati bagaimana dia memasang berbagai peranti jam lonceng itu. Keesokan harinya, tepatnya Kamis pagi (19/3), saya kembali mendatangi rumah Badawi. Kebetulan, kali ini Badawi belum bekerja.

Jam dinding yang sore sebelumya dia perbaiki ternyata sudah selesai. Sudah berfungsi dengan baik. Badawi mengatakan, kemampuan reparasi jam lonceng tersebut dia peroleh dengan cara otodidak alias tanpa pembimbing. Awalnya, Badawi membongkar jam lonceng rusak milik ayahnya.

“Setelah saya bongkar, saya utak-utik sendiri. Saya coba perbaiki. Hingga akhirnya jam tersebut bisa berfungsi kembali. Kalau tidak salah, saat itu masih zaman jepang,” ujarnya seraya mengenang momen sebelum Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan tersebut.

Sejak itu Badawi giat mencermati bagian perbagian jam lonceng. Setelah merasa kemampuannya memperbaiki jam lonceng memadai, Badawi muda mulai membuka jasa reparasi jam tersebut. Penahan tapi pasti, jasa reparasi jam yang ditawarkan Badawi semakin dikenal masyarakat.

Di puncak kejayaan jam lonceng, yakni sebelum periode 1990-an, rata-rata dalam sebulan ada lima sampai sepuluh klien yang memanfaatkan jasa pria yang oleh tetangganya karib disapa Ketua tersebut. Namun, kini seiring berjalannya waktu, semakin sedikit warga yang memillih jam lonceng.

Hal itu tentu berimbas pada usaha yang digeluti Badawi. Selain semakin sedikit klien yang datang, kerja. pria yang satu itu juga semakin sulit. Itu terjadi lantaran suku cadang jam lonceng semakin sulit didapat. “Suku cadangnya sudah tidak ada di pasaran. Kalau saya bisa membuat sendiri suku Cadang tersebut.

ya saya buatkan. Tetapi, kalau ternyata saya tidak bisi membuat suku cadang yang rusak itu, ya saya katakan apa adanya. Berarti saya tidak bisa memperbaiki jam tersebut.” aku pria pemegang kartu tanda penduduk (KTP) yang berlaku seumur hidup tersebut. Badawi memasang tarif bervariasi untuk tiap jam lonceng yang dia perbaiki.

Ongkos yang harus dibayar konsumen berkisar Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu. “Tergantung jenis kerusakan dan tingkat kesulitan berbaikan jam tersebut,” kata dia. Badawi menuturkan, selama sekitar setahun ke belakang. pemilik jam lonceng yang menggunakan jasanya semakin sedikit.

Dalam satu bulan, paling banyak ada dua orang yang memanfaatkannya. Beruntung, selain piawai memperbaiki jam lonceng, Badawi juga memiliki kemampuan memperbaiki jam tangan analog, jam tangan yang menggunakan jarum sebagai penunjuk waktu. Saat tidak ada klien yang memperbaiki jam lonceng, Badawi mendapat penghasilan dari jasa reparasi jam tangan non digital tersebut. (radar)