Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Selalu Bawa Celurit, Tantang Duel Begal di Kumitir

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

MENCARI rumah Budiono, 61, ini tidak terlalu sulit. Di kampungnya, di RT 1, RW 2, Dusun Glowong, Desa Wringinagung, Kecamatan Gambiran, bangunan rumahnya termasuk megah dan mencolok. Meski sudah berumur separo abad lebih, tapi Budiono terlihat masih sehat.

Gaya bicaranya tegas dan cenderung ceplas-ceplos. Di usianya yang sudah mencapai 61 tahun, dihabiskan untuk mengabdi sebagai seorang guru. “Sejak pertama dinas di Bondowoso,” katanya. Budiono kali pertama menjadi guru pada tahun 1973.

Saat itu, dirinya mendapat tugas mengajar di salah satu SDN yang ada di Kabupaten Bondowoso. “Sampai sekarang, saya masih tugas di Bondowoso, tapi sudah pindah dari SD satu ke SD yang lain,” katanya. Budiono sebenarnya asli Blitar.

Saat kuliah di Universitas Negeri Jember (Unej), bertemu Sutiani, 52, asal Glowong, Desa Wringinagung. Keduanya pun menikah dan tinggal di Bondowoso. “Saya di Bondowoso itu mengontrak rumah,” terangnya. Baru pada tahun 1998, Budiono bisa membeli tanah dan membangun rumah di Dusun Glowong, Desa Wringinagung.

Tapi, dia tetap menjadi guru di kecamatan Maesan, Kabupaten Bondowoso. “Selama mengontrak di Bondowoso, kita cari usaha lain, setelah ada modal, kita buat rumah,” ujarnya. Sejak punya rumah itu, semua anggota keluarga diboyong ke rumah barunya.

Untuk dinas, terpaksa dijalani dengan cara melaju dari rumah. “Setiap hari, saya pulang pergi (PP) dari rumah ke sekolah di Bondowoso, dan ini sudah saya lakoni 16 tahun,” cetusnya. Budiono bersyukur selama menunaikan tugas dengan cara melaju itu hampir tidak pernah mangkir atau bolos.

Padahal, itu sangat mudah dilakukan bila memang mau. “Ini sudah menjadi tanggung jawab sebagai guru dan abdi negara, saya tidak pernah bolos,” katanya. Bagi Budiono menjadi seorang guru itu sudah menjadi panggilan jiwa. Meski sekolahnya cukup jauh, tapi tetap harus dijalani dengan rasa ikhlas.

“Kalau saya tidak  masuk, terus  namanya uang (gaji yang diterima) itu uang apa, hayo?,” ujarnya seraya tersenyum. Jarak ke sekolah yang cukup jauh, bagi Budiono tidak masalah. Agar tidak terlambat, setiap hari berangkat dari rumah sekitar pukul 04.00 dengan naik motor.

“Dari rumah ke Bondowoso, butuh waktu 2,5 jam,” ungkapnya. Selama 16 tahun menjalani tugasnya dengan melaju ini, hampir tidak pernah mengalami hambatan yang berarti. Kemacetan yang sering terjadi di Gunung Kumitir bisa dilewati dengan aman. “Lewat Kumitir itu setiap hari,” terangnya.

Selama tugas dengan melaju ini, pernah sekali akan diganggu oleh begal. Saat itu, dirinya pulang agak malam dengan istrinya. Ketika melewati Gunung Kumitir, diikuti enam orang yang diduga begal. “Ini terjadi pada tahun 2002. Saat itu saya berhenti di tempat gelap,” cetusnya.

Budiono yang selalu membawa celurit untuk jaga-jaga itu langsung melempar celuritnya ke jalan raya. Selanjutnya, para begal itu ditantang duel. “Saya bilang, kalian bacok saya lima kali, saya hanya butuh sekali untuk membacok kalian,” katanya mengenang gertakannya saat itu.

Gertakan itu ternyata jitu, para begal memilih kabur dan menghilang. Sementara itu, dirinya juga segera pulang bersama istrinya. “Padahal, kalau dikeroyok, saya juga kalah,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Genteng. Sebagai seorang pendidik, Budiono mengaku perkembangan dunia pendidikan saat ini sangat bagus.

Dia berharap para guru bisa memberi sesuatu yang lebih bagi muridnya. Perkembangan murid saat ini, jauh berbeda dengan era 1980-an. Saat itu guru harus mengajak dan mendorong siswa untuk berangkat ke sekolah. Tetapi, saat ini kemauan siswa sudah cukup tinggi untuk sekolah. Apalagi, fasilitas pendidikan saat ini sangat memadai. “Orang tua juga harus menaruh perhatian dan peduli pada anaknya,” katanya. (radar)