Suka Duka Sopir Ambulans Rumah Sakit
BANGUNAN kecil di pintu masuk RSUD Blambangan menjadi markas sopir ambulans. Lokasinya berimpitan dengan pos satpam. Saking kecilnya ruangan untuk pengemudi itu, untuk memuat delapan sopir sekaligus hampir pasti tidak muat.
Sebuah meja dan kursi tampak menjadi teman pengemudi saat sedang kosong order di ruangan itu. Di depan markas sopir ambulans ini, deretan kendaraan pengangkut pasien selalu berjejer stand by di sana. Mereka bekerja dalam tiga shif dengan rata-rata waktu kerja delapan jam per hari.
Sudah ada yang tahunan hingga belasan tahun mengabdi sebagai driver ambulans. Soal urusan mengantar pasien menggunakan ambulans, mereka harus siap setiap saat. Dalam satu ambulans biasanya diisi dua sopir, dengan status satu sopir utama dan satu lainnya driver cadangan. Ini biasanya berlaku untuk rute pengantaran hingga luar kota.
Pertimbangan jarak dan waktu membuat disertakan dua sopir dalam satu kendaraan untuk bisa saling bergantian. Ada empat unit ambulans yang dimiliki rumah sakit pelat merah itu. Kondisinya lumayan bagus. Namun di balik kemulusan bodi mobil ambulans itu, ternyata menyimpan banyak cerita. Tidak terhitung sudah jauhnya jarak dan ragam pasien yang pernah dilayani oleh pengemudi ambulans.
“Ada yang pernah sampai ke Banten, Pekalongan, dan Jakarta serta daerah lainnya,” beber Yayak, salah satu sopir ambulans. Di ruangan itu, suka duka sopir ambulans tergambar. Saat sepi order hantaran pasien, praktis mereka hanya bisa menunggu di pos. Sehari pun kadang bisa kosong.
Tapi saat padat, seluruh kru pun dipastikan bisa dikerahkan mengantar pasien. Bahkan sopir yang sudah pulang kerja pun terpaksa dipanggil untuk menjalankan tugas tambahan. Itu belum cukup. Menyetir mobil ambulans tidak bisa disamakan dengan mengendarai mobil pada umumnya.
Kondisi mobil ambulans yang memiliki pemisah antara pasien dengan kabin kendaraan, menjadi salah satu masalahnya. Di sini, saat jarak jauh, kondisi fisik dan kenyamanan menjadi taruhan. Sebab posisi kendaraan tidak bisa disandarkan ke belakang. Otomatis posisi tubuh nyaris 90 derajat.
Bisa dibayangkan, bila untuk menyetir dari Banyuwangi ke Surabaya dengan jarak 300 Km yang membutuhkan waktu enam jam. Selama enam jam menyetir itu, posisi sopir harus dalam kondisi tegak. Punggung terasa kaku meski menyempatkan diri untuk beristirahat di sela perjalanan.
“Punggung bisa pegal karena jok tidak bisa disandarkan ke belakang,” ujar Hadi, sal;ah satu driver ambulans. Belum lagi suasana ambulans saat mengantar pasien. Bila yang diantar pasien masih sehat atau hidup, suasana bisa santai. Berbeda bila suasana pasien yang diantar sudah meninggal.
Bagi orang awam, tentu menilai suasana ambulans lebih banyak hening dan sedikit menyeramkan. Pengalaman yang dialami Hadi bisa menjadi salah satu ceritanya. Saat mengantar jenazah, karena lelah selama perjalanan, dia memutuskan untuk berganti posisi dengan sopir cadangan.
Dengan posisi kendaraan berjalan, dia berusaha untuk merebahkan diri. Kursi depan yang posisinya sama dengan kursi sopir yang tidak disandarkan membuatnya tidak ingin tidur dengan posisi duduk. Dia memilih untuk tidur di bagian belakang mobil. Tidak adanya kursi yang memadai di bagian belakang, terpaksa membuatnya memilih nekat. Hadi tidur dengan berbaring meski bersebelahan dengan posisi jenazah.
“Sudah sangat mengantuk dan capek. Tidur bersebelahan dengan mayat sudah tidak masalah,” bebernya. Bukan itu saja. Saat mengantar pasien dalam perjalanan jauh pun tidak bisa sembarangan. Lihat saja bagaimana saat kru ambulans hendak istirahat dan sekadar mengisi perut.
Mereka tidak bisa memarkir kendaraan persis di depan halaman rumah makan. Mereka biasanya berjalan kaki dengan meninggalkan kendaraan minimal 100 hingga 200 meter dari rumah makan. Kru ambulans sendiri menyadari, muatan yang ada di dalam kendaraan juga bisa mempengaruhi psikis pengunjung rumah makan. Terlebih lagi, bila yang ada di dalam kendaraan itu adalah jenazah.
“Ya diparkir agak jauh biar tidak mengganggu selera makan pengunjung rumah makan,” ujar Hadi. Pandangan semacam itu bukan tanpa sebab. Dalam pengalaman mengantar pasien, kru ambulans juga kerap mendapatkan perlakuan yang cukup aneh dari masyarakat.
Salah satunya adanya lemparan kecil dari masyarakat saat mobil ambulans lewat di sekitar rumah penduduk paska mengantar pasien. Benda yang dilemparkan memang tidak merusak. Yang dilemparkan biasanya hanya berupa garam. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat masih ada anggapan sebagian di masyarakat yang menganggap ambulans sebagai kendaraan pembawa sial.
Dan garam yang dilemparkan ke mobil ambulans dianggap sebagai penolak bala alias penangkal sial. Gambaran mobil sial itu bisa jadi karena ada anggapan sisimistis dibalik keberadaan ambulans. Beberapa kasus mengantar pasien, mobil ambulans kerap ngadat di jalan raya. Padahal kondisi mobil dalam kondisi fit.
Muatan pun dipindahkan ke ambulans lainnya. Tak dinyana, ambulans yang menerima pasien tersebut pun juga ngadat. “Untungnya pasien sudah diantar pulang,” pungkas Hadi. Selain itu, menjadi sopir ambulan tidak bisa sembarangan. Mereka telah diberikan pembekalan dan keterampilan dalam penanganan pasien. Termasuk tata cara penggunaan ambulans berikut lampu rorator yang menjadi ciri khas kendaraan ini.
“Nyetir ambulans ada aturannya,” katanya. Melaju dengan mobil ini diberikan batas kecepatan maksimal 60 Km per jam. Rorator yang dihidupkan pun harus memenuhi kriteria yakni khusus pasien yang belum mendapat penanganan medis. Efeknya bila dihidupkan saat pasien sudah mendapat perawatan medis bisa berdampak pada psikis pasien.
“Ada pasien yang mengeluh kondisinya gawat dan hampir meninggal. Makanya sopirnya ngebut dan pakai lampu (rotator),” tandasnya. Tidak heran sesama pengemudi ambulans pun, mereka memiliki gaya dan karakter sendiri dalam mengemudi. Mereka pun memiliki julukan satu sama lainnya untuk sekadar mengisi waktu saat di kendaraan maupun di pos.
Julukan yang melekat pada sopir ambulans ini pun tidak jauh dari keberadaan motor grand prix seperti Valentino Rossi, hingga nama pembalap lainnya. (radar)